Torehan Pena dari Kawan-kawan

Oleh: Fausiah
Tergeletak lemah, benda kecil imut, tak bernyawa dan tak terjamah oleh sebuah tangan. Layar yang terpampang lebar pada bagian depannya, dan ternyata pada bagian itu juga terdapat kotak-kotak kecil. Pada bagian itu dengan indah dan rapi tertulis sebuah angka-angka. Tangan ini tertarik untuk menjamahnya, tergerak, tapi ragu. Sinar kuning mulai tampak pada layarnya dan juga ternyata pada bagian itu, tidaklah kosong, berbagai macam gambar timbul tenggelam membuat tangan ini semakin ingin menjamahnya. Semakin dekat, namun tiba-tiba tangan ini kaget, karena ternyata benda kecil imut itu mampu mengeluarkan suara yang begitu menggetarkan jiwa. Lama-lama, dan lama ternyata itu adalah sebuah nada. Nada indah namun berat, berat namun ringan, akhirnya puncak penasaranku pun datang maka kuraihlah benda imut itu. Tangan ini makin penasaran dengan kotak kecil pada bagian depannya yang berisi angka-angka yang dapat terbaca namun tak terpahami. Angkat imut itu kutekan oleh tanganku yang mulus dan imut, tiba-tiba pada layar muncul angka yang terdapat pada kotak kecil. Akhirnya aku paham apa itu angka.

Oleh: Miftahul Jannah
Aku ingin mengatakan, “HP tersusun dari rangkaian-rangakaian yang begitu menanbjukkan, sebab setiap bahan penyusunnya tercipta dari atom-atom yang dipadukan menjadi satu.”
????
“Up’s,… jangan tanya aku tentang rangkaian-rangkaian itu, sebab aku tak mampu membedah setiap sisi dari HP itu sendiri. Hati dan pikiran tak mampu untuk membayangkan tanpa HP apalah arti tekonologi bagiku. Aku hanya penikmat, maka biarkanlah aku bercinta sebagai makhluk yang tunduk pana Khaliknya.”

Oleh: Juliana
Ketika malam hening, sunyi dan sepi, tiba-tiba sebuah suara terdengar di sudut meja. Yah,…. itulah suara HP yang menghentikan keheningan malam. Tangan lentik nan lembut menekan tombol yang bergambar gagang telpon berwarna hijau. Seketika pun terdengar percakapan dari seseorang yang entah dimana ia berada. Alunan-alunan suaranya terdengar pelan, lamban hingga keras menggelitik gendang pendengaranku. Lama aku membiarkan suara itu menari-nari indah bersama dengan gelombang udara yang perlahan mengusik segala system dalam telinga. Lalu aku pun berbisik mesra, “Kaukah sang kekasih yang lama kutunggu.” Aku yakin suaraku terbawa oleh aliran-aliran jaringan yang secepat kilat sampai ke seberang sana dan menembus jantungnya, maka diakhir ceritaku, matilah ia karena kata-kataku membiusnya, memabukkannya, merobek-robek hatinya. Hahahahahaha,,…. Siapa suruh nelpon sama hantuuuuuuu!

Oleh: Arni Iswanti Rauf
Pentingnya HP dalam kehidupan sehari-hari antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, akan membuat seseorang mengerti seberapa besar fungsi atau manfaat HP dalam kehidupan. Banyak orang yang berpikir bahwa orang yang memiliki HP hanya untuk gaya-gayaan dan tidak ingin dikatakan kampungan apabila tidak memiliki HP.
Seiring perjalanan waktu, tanggapan-tanggapan tersebut telah hilang atau tidak terdengar lagi. Saat ini banyak kita temui sebagian orang menjadikan HP sebagai salah satu pekerjaan, misalnya menjual. Tentunya hasil penjualan itu akan menambah peghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.

Oleh: Nasmawati
HP biasa membuat orang sakit hati, ceriah, senang, malas, berdosa, pokoknya masih banyak lagi orang jadi gila. Gila dalam arti, gila cinta, gila informasi, sampai kepada HP-nya yang gila.
HP dalam masyarakat ada yang menguntungkan dan ada yang tidak. Contoh yang menguntungkan adalah orang yang mampu mengatur HP-nya untuk urusan bisnis, maka pekerjaannya akan menjadi lancar dan memperoleh keuntungan yang maksimal. Sedangkan contoh yang tidak menguntungkan adalah orang yang diatur-atur oleh HP-nya sehingga seluruh pekerjaannya menjadi terhambat.
Saya kagum dengan HP, karena dengan Hp-lah kita bisa berkomunikasi dengan orang-orang dekat walaupun tempatnya sangat jauh, seperti pepatah yang mengatakan, “Jauh di mata dekat di hati”
Hp bagaikan burung yang datang membawa kabar berita dengan mudahnya. Kita mendapat informasi melalui HP dengan bentuk yang indah dan baju yang warnanya yang mencolok sehingga dalam gelap pun akan begitu jelas kelihatan. Mungkin alasan itulah sehingga hampir semua orang mencintai HP, kalau perlu mereka harus mencuri demi memiliki yang namanya “HP”.

Oleh: A. Nurfadilah
HP merupakan salah satu alat komunikasi yang telah digunakan oleh banyak orang, baik itu kalangan tua, orang dewasa, anak muda, anak-anak, kaya dan miskin. Zaman ini, HP bukan lagi suatu barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan elit.
HP dapat digunakan untuk memperlancar berbagai aktivitas manusia, baik itu formal maupun non-formal. Presiden, pengusaha, tukang becak, sampai pasangan muda mudi yang sedang kasmaran tentu sangat bersyukur dengan adanya HP. Presiden menggunakan HP untuk menghubungi birokrak lainnya, pengusaha untuk menghubungi kliennya, muda-mudi menghubungi pacarnya dengan menggunakan HP, bukanlah lagi selebaran surat seperti zaman Sitti Nurbaya. Tapi, hati-hati suatu saat akan muncul HP yang akan membunuh dan menteror para koruptor di negeri ini,…………..

Buat, kawan-kawanku: Syarifuddin, A. Nur Qalbi, Sulfikar, Irwansyah, Muzdalifah A, Augustiana, dan semuanya. Kupersembahkan untukmu:
HP ya HP,……. Tetap saja kapitalisme,…………………….
Ada HP dan tidak ada HP adalah kematian,……
HP ibarat penyair yang mendongeng di sela-sela dentuman bom,….

titah langit

bulan merunduklah
sampaikanlah titah dari langit kepadaku
alirkan dalam setiap getaran gendang pendengaranku
belailah aku lewat cahayamu

oh,... bulan!
menyanyilah
hiasilah bumi dengan melodi
biarkanlah seluruh penghuni jagat raya mabuk
siramlah dengan anggur dari langit
biarkanlah aku berpesta dengan iblis

oh,.. bulan!
tebarkanlah keharuman
semakkanlah bunga di sukmaku
biarkalah tangan lentikmu menancapkan duri di dadaku
belailah
tidurkanlah bumi yang sudah tak seimbang lagi
bairkanlah hembusan napasku memaki tuhan

perbedaan

.............
perbedaan manusia masa lalu dengan masa kini
manusia masa lalu berburu di hutan untuk mempertahankan hidupnya
manusia masa kini berburu hutan untuk mempertahankan hidupnya,...
up's ada juga manusia memburu tuhan untuk menjadi penguasa
.............

masalah budaya,.... Indonesia jagonya
mempertahankan budaya, __korupsi, kolusi, nepotisme, dan penindas__
mengadopsi budaya __pop, pemerkosaan, pembunuhan__
melepaskan budaya __reok,dll__
up's agama dan tuhan pun hanya sekedar budaya,... hebat memang ya, hehehehehe
.............

polisi menembak masyarakat miskin dan sukses menewaskan dua orang
mahasiswa tawuran dan sukses melukai polisi
tukang becak juga sukses mengikuti cara-cara mahasiswa turun ke jalan
siswa melempar gurunya, guru melempar siswanya, jadilah mereka saling lempar
up's agama dan tuhan pun ikut berkelahi
.............

banyak penindas berdasi berkeliaran
banyak penindas bertopeng berkeliaran
banyak penindas berkopiah berkeliaran
banyak penindas bersorban berkeliaran
banyak penindas yang menindas para penindas
up's agama dan tuhan pun menindas
............

kemarin telah terjadi penembakan kepada masyarakat miskin di bulukumba,...
orang luar negeri tersenyum melihatnya, dan berkata, "Wajar karena dia itu orang makassar"
................

kemarin telah tertangkap perampokan di jawa,...
wartawan tersenyum melihatnya, dan berkata, "Wajar karena dia itu orang makassar"
................

up's jaga-jaga anda sepertinya berada diantara di atas, hehehehehe
trim's,.....

Monalisa 1

___Pertemuan 1___


”Cogito, ergo sum” __Saya berpikir, maka saya ada.
Pernyataan Rene Descartes teringat lagi. Sebuah pernya-taan yang menekankan perlunya pemikiran rasional dalam kebudayaan sebagai salah satu bukti eksistensi manusia. Pernyataan itu seperti kembang api yang meledak dalam kepalaku. Menghiasi anganku. Menusuk-nusuk dimensi pikir-ku. Lalu aku memalingkan wajah, menatap jauh. Menembus kaca jendela kamar yang tampak buram karena tak pernah tersentuh oleh kain halus dan jemari lentik dari tangan mulus. Di balik kaca itu, tampak langit penuh bintang yang berge-mintang menghiasi cakrawala. Dan tiba-tiba saja kata-kata indah merasuki jiwaku. Bermain-main di kepalaku. Mengusik ketenangan di malam ini.
Kata-kata yang indah itu seperti magnet yang menarik dan menuntun aku pada sebuah kutub tertentu. Yah,.. menuntunku, sampai akhirnya aku duduk terpaku di sebuah kursi tua yang berpasangkan meja usang dengan sebuah komputer di atasnya. Buku ’The Turning Point (science, society, and Rising Culture)’ __’Titik Balik Peradaban (sains, Masyarakat, dan kebangkitan kebudayaan)__ karya Frijof Capra yang tergenggam di tangan perlahan aku letakkan di meja. Tombol power komputer aku tekan dan beberapa saat kemudian muncul layar biru yang bertuliskan windows is loading. Di samping komputer itu, aku meraih sebatang rokok __Clas Mild__ yang terselip di antara kabel-kabel yang menjalar saling tumpang tindih. Lalu membakarnya. Mengisapnya. Asap rokok pun mengepul, meliuk-liuk, menyusuri setiap ruang-ruang kosong di dalam kamarku, dan memukul mundur nyamuk-nyamuk yang berkeliaran dari tadi. Asap rokok perlahan buyar dan menghilang, tapi aku percaya kalau asap rokok tersebut sedang berkumpul pada suatu tempat untuk melakukan proses pemanasan global.
Sementara itu, komputer sudah selesai loading. Layar biru komputer sudah terganti oleh gambarku yang bergaya ala Syahruk Khan yang sedang menyibakkan rambutnya ketika sedang menggoda Anjeli dalam film kuch-kuch hotahae.
Aku menekan jendela Windows. Lalu muncul sederetan menu yang siap untuk dipilih. Microsotf office word menjadi pilihanku, dan layar putih pun terpampang, siap untuk ditulisi. Aku pindahkan kata-kata indah yang bermain-main di kepala pada lembar Microsotf office word membentuk satu kalimat, kemudian berubah menjadi sebuah paragraf yang di dalamnya terdapat satu kalimat utama dan beberapa kalimat pelengkap. Paragraf demi paragraf terbentuk menjadi sebuah rangkaian tulisan yang menjelaskan sesuatu hal yang sangat luar biasa. Kemudian aku print lalu memasukkan pada sebuah amplop yang berukuran besar, dan terakhir aku merebahkan tubuh di atas kasur yang sudah tak empuk lagi.
* * *
Keesokan harinya, aku menemui seorang editor yang sekaligus sebagai penulis yang sudah teruji kehebatannya. Aku mendapatinya sedang duduk di terasnya sambil membo-lak-balik surat kabar dengan ditemani secangkir kopi dan satu bungkus rokok. Sambutan yang sangat ramah dan hangat aku terima.
“Gimana kabarnya hari ini?”sapanya.
“Baik.” Jawabku.
Setelah acara saling sapa berlangsung, aku menyerahkan amplop yang di dalamnya terdapat beberapa lembar tulisan yang semalam. Sang Editor menerima amplop dengan senyum yang sangat khas. Senyum itu mengingatkan aku pada lukisan Ernesto ‘Che’ Guevara yang terpajang indah di kamarku. Kemudian Sang Editor mengisap rokoknya dan mulai membaca tulisan yang aku serahkan padanya;…

Suatu pagi yang cerah. Aku baru saja terjaga dari tidur pan-jang, semalam. Tiba-tiba aku mendapati masyarakat miskin kota Makassar yang mangkal di sudut-sudut istana yang me-gah sedang merajuk sajak-sajak indah. Sajak-sajak itu begitu tenang mengalir. Menyelinap ke dalam relung hati yang ter-dalam. Angin sepoi yang bertiup tak tentu arahnya membawa bait-bait sajak itu berkelana, dan akhirnya berdenting dengan jelas dalam ruang-ruang dimensi yang mulai terlupakan.
Sajak-sajak itu terus mengalir dengan deraian air mata,.... terus, dan terus,..... aku terpaku mendengar sajak-sajak itu. Yaah, dengarkanlah. Biarkanlah membahana dalam telingamu. Dengarkanlah,...

Kupijakkan tumitku di bumi persada ini. Kukerahkan segenap kekuatan untuk menahan beban tubuhmu yang terlalu berat bagiku. Namun, kau terus menindihku, menderaku, meneng-gelamkan aku ke dalam perut bumi sedalam-dalamnya di tempat yang terdalam. Sampai akhirnya lahar panas kembali memuntahkanku lewat gempa yang kau sebut Vulkanik.

Kau jadikan aku sebagai persembahan pada iblis-iblis penunggu gunung. Kau korbankan aku, sebagai tumbal agar kau semakin kuat, kebal, bebal, dan abadi.

Kau copot jantungku. Kau sate. Kau melemparkan pada kawah yang mengepul asap putih di atasnya. “Sakit,..!” jeritku. Kamu tak bergeming. Senyum sinis. Senyum puas. Senyum keserakahan. Di setiap senyummu adalah api neraka yang akan melalap habis apa saja. Panas kawah pun takut dengan hawa panas pada senyummu. “Kamu brengsek,.....!” Teriakku. Membahana. Mengusik raja hutan yang tertidur.

Rupanya kau tak ingin mendengar teriakanku. Kau robek mulutku. Kau cincang. Kau iris-iris sampai aku tak mampu berkata ini a, ini b. Aku terbungkam. Kau jepit mulutku. Kau gantung. Kau masak. Ingin rasanya berteriak. Namun, aku sudah tak punya mulut lagi. Hanya air mata yang tumpah ruah. Berharap dapat mendinginkan kawah panas.

Kau cungkil mataku. Kau pisahkan dengan retinanya. Kau pelototi. Besi panas kau pakai untuk melobangi mataku. Hitam putih mataku menyatu. Aku menangis darah, “yah,..! Aku menangis! Menangis darah.” Telingaku sendiri yang mende-ngarnya dan menjadi saksi.

Kau potong telingaku. Kau kuliti. Kau kupas hingga yang tampak tinggal tulang-tulang rawannya saja. Kau lemparkan telingaku pada Singa lapar yang terusik. Jeritan hatiku tak terdengar lagi. “Uss, masih terdengar, ya,... masih terdengar,.. masih terngiang di kepalaku.” Alhamdulillah kepalaku masih mendengarnya.

Kau potong kepalaku. Kau cabuti rambutnya. Kau belah dua, empat, enam,.... sampai kelipatan tak berhingga. Kepalaku kau bubur buat anjing-anjing yang kelaparan karena dari pagi sampai malam menjilati sepatumu. Tiba-tiba tanganku refleks menamparmu.

Kau tarik lenganku hingga terlepas dari pinggangku. Kreeg,.!. Lenganku terjungkir. Terjungkal-jungkal. Jatuh ke kawah. Tinggal tulang-tulangnya yang menyembul. Kau peleteri lenganku yang sebelah. Kreeg,...! Lenganku terjungkir. Terjungkal-jungkal. Jatuh ke kawah. Tinggal tulang-tulangnya yang menyembul. Kakiku refleks menendang kau.

Kau tarik kakiku. Terputus hingga di bibir kemaluanku. Kakiku yang satu refleks menendang kau. Kau tarik lagi. Dan hasilnya, kakiku terputus hingga di bibir kemaluanku.

Tinggallah payudaraku yang masih mengental. Kau menatapnya penuh nafsu, lalu kau melumatnya hingga habis. Selanjutnya vaginaku kau peleteri. Kau perkosa aku dalam puing. Kau perkosa aku dalam bangkai. Diakhir, kau hantam vaginaku dengan rudal. Meledak. Hancur.

Aku kira kamu sudah puas. Tapi, belum,.. sama sekali belum,.. senyummu jahanam. Kau tertawa. “Ini baru permulaan dari sebuah pengembaraan NAFSU....”

Begitulah sajak-sajak rintihan yang mengalun syahdu, mewakili segala duka masyarakat miskin di kota Makassar. Bergemuruh setiap saat di telinga. Memecah kesenyuian saat malam menenggelamkan bumi.
Masyarakat miskin itu bertebaran di tengah-tengah penguasa yang lalim sambil mengais-ngais tumpukan sampah. Berharap ada sesuatu yang bisa menghasilkan uang untuk membeli beras satu liter. Tak jarang mereka memasuki area kampus. Dan mahasiswa terkadang jijik dengan pekerjaan yang mereka lakoni. Terkecuali, mahasiswa yang memiliki rasa sosial yang tinggi dan terketuk pintu hatinya untuk turun ke jalan berteriak-teriak seperti setan kesurupan. Mengingat-kan para penguasa kalau di sudut-sudut istana mereka yang mewah masih banyak bertebaran orang miskin. Bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan masyarakat yang serba berkecukupan. Aku, salah satu mahasiswa yang berteriak itu.
Gelar mahasiswa yang kuperoleh adalah sebuah keber-untungan. Aku berhasil lulus pada sebuah perguruan tinggi negeri saat seleksi peneri-maan mahasiswa baru dua tahun yang lalu. Itupun harus dibayar dengan mendapatkan makian dan tendangan halilintar dari senior-senior pada sebuah acara yang mereka sebut sebagai OSPEK (Orientasi Perkenalan Kampus).
Acara ini merupakan tradisi yang sudah mendarah daging di seluruh kalangan universitas, walaupun sampai hari ini aku belum mendapatkan korelasi antara OSPEK dengan terbentuknya mahasiswa yang beradab. Apalagi hubungannya dengan terciptanya mahasiswa yang cerdas dan tercerahkan. Bahkan, aku berpikir kalau ini adalah sebuah langkah awal untuk menciptakan penindas-penindas baru. Ini salah satu upaya melestarikan peninggalan orde baru. Ini adalah sebuah kesalahan dalam memahami dan memaknai OSPEK. Atau OSPEK memang penindasan.
Aku betul-betul bingung dengan realitas yang aku lihat. Sungguh realitas kampus itu sangat berbeda jauh dengan mimpi-mimpi indah yang aku selipkan di setiap sisi hidupku saat SMA dulu. Mimpi-mimpi yang memaksaku menangis untuk yang pertama kalinya di depan orang tua agar meng-ijinkan aku menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mencoba meninggalkan kebiasaan masyarakat di kampung __mengirim anaknya ke luar negeri untuk menjadi TKI. Walaupun, mereka tahu kalau resiko yang sangat besar bisa saja menimpa anaknya __pengoroyokan, pemorkosaan, dan juga pembunuh-an. Namun, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka menganggap bahwa menjadi TKI di negeri orang-lah sebagai jalan satu-satunya yang paling tepat untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Bagaimana tidak? Kalau hasil pertanian dihargai terlalu rendah. Padahal, di tanah yang luas dan subur ini hanya hasil pertanian yang diandalkan.
Selama satu minggu aku berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuaku, bahwa pendidikan jauh lebih baik untuk aku saat ini. Dan berkat izin Tuhan, kedua orang tuaku melihat ketulusan dalam diriku untuk menuntut ilmu, maka hati orang tuaku langsung luluh saat itu. Sepertinya, mereka mulai menyadari kalau harta yang paling berharga bagi generasinya adalah ilmu. Ayah dan ibu memberikan izinnya dan merelakan aku meninggalkan kampung halaman demi mencari setitik cahaya ilmu di tengah kegelapan dunia. Untuk menukar dosa dengan amal baik. Dan untuk menukar hidup dengan cinta dan ridho Tuhan.
Satu hari sebelum keberangkatanku ke kota ini, ibu me-nyedorkan amplop yang berisi uang di dalam kamarku, ”Nak, pergunakan uang ini dengan sebaik-baiknya.”
Aku tak mampu berkata-kata, ketika ibu memberikan amplop itu padaku. Hanya linangan air mata yang bergulir di pipiku, melihat keikhlasan yang sungguh luar biasa terpancar dari raut wajahnya.
Aku sangat tahu kalau uang di dalam amplop ini adalah hasil tabungan selama beberapa tahun. Sengaja di simpan-simpan, kalau-kalau tiba-tiba yang ada terjadi dan membutuh-kan uang. Salah satunya adalah untuk persiapan jika kematian menjemput.
Saat langkah kakiku perlahan bergerak menuruni tangga rumah, aku merasakan ada tanggung jawab yang sangat besar terpikul di pundakku. Rasanya seperti sedang memikul Gu-nung Latimojong. Berat sekali. Berat,... sungguh sangat berat. Kulihat, tatapan ayah dan ibu tidak meleset sedikit pun saat aku mulai menghilang di ujung lorong rumah. Sebuah tatapan yang sangat syahdu laksana melodi indah yang menghantar-kan kecintaan dan kasih sayang yang tak terhitung. Pada tatapan itu bermuara sejuta harapan. Yaaaaah, sepertinya sejuta harapan yang bermuara dan tergambar di sana.
* * *
Hukum alam berjalan terus-menerus. Bumi terus berputar pada porosnya. Pergantian malam dan siang pun terjadi. Bulan berganti tahun dan akhirnya cukuplah aku dua tahun di sini, di tempat kostku yang kumuh. Di tengah-tengah kehidupan kampus yang aneh. Realitas-realitas kehidupan kota Makassar pun telanjang bulat di hadapanku. Telanjang bulat seperti telanjangnya pelacur yang sedang bersenggama dengan bapak-bapak yang perutnya buncit.
Khayalan masa lalu perlahan buyar oleh rintik hujan yang perlahan keras. Pagi ini, hujan mengguyur bumi persada Makassar. Pada hal, sejak bulan Februari __dua bulan__ yang lalu musim sudah berganti kemarau. Olahraga pada pagi hari yang menjadi kebiasaanku menjadi tertunda.
Duduk di teras inilah yang bisa aku kerjakan sambil me-mandangi titik-titik air yang saling berkejar-kejaran, kemudian terhempas. Menghantam bumi. Meresap ke dalam beberapa lapisan tanah sampai akhirnya berhenti di dalam perut bumi. Kemudian diserap oleh tumbuh-tumbuhan bersama dengan zat hara dalam tanah. Peristwa ini berlangsung secara terus menerus menjadi mata rantai kehidupan. Sungguh sebuah siklus hidup yang mengagumkan.
Di ujung gang, seorang perempuan sedang berlari terburu-buru sambil memayungi kepalanya dengan menggunakan tangan kirinya. Dan hasilnya, perempuan tersebut berlari seperti monyet yang diburu karena merusak tanaman pen-duduk. Tentunya perempuan itu basah, karena belum ada sejarah yang membenarkan kalau tangan itu juga berfungsi sebagai payung.
Perempuan itu bersandar pada tembok rumah tetanggaku untuk menghindari air hujan. Tepatnya, di depanku saat ini. Hanya beberapa meter jauhnya. Dadanya terlihat naik turun, napasnya tidak teratur. Dia sangat kecapaian berlari. Sesekali dia mengusap air yang mengalir di pipi mulusnya.
Sebagai laki-laki normal, tentunya aku memperhatikan perempuan tersebut dengan seksama. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Perempuan itu tak berani menatapku karena aku lebih dulu menatapnya tajam, seakan tatapan mataku melon-tarkan busur-busur panah yang melesat kencang, menembus bagian-bagian tubuhnya, kemudian terpaku ke tembok.
Sepertinya, perempuan itu merasakan kalau dirinya men-jadi fokus perhatian oleh sepasang bola mataku. Perlahan dia bergerak seiring dengan hujan yang meredah. Sandal jepit yang dipakainya membuat penampilannya biasa-biasa saja. Tapi, postur tubuhnya yang sangat ideal memberikan kesan kecantikan yang sungguh luar biasa. Langkahnya berdendang gemulai menapaki sepanjang gang.
Perempuan itu menghilang di ujung gang, “Pasti perem-puan itu tinggal di ujung gang ini. Karena gang ini buntu.” Pikirku.
Lalu kupandangi langit. Matahari menyeruak menyapa alam. Semburat cahaya merahnya mulai muncul. Titik air hujan di langit diterpa oleh berkas-berkas cahaya yang menim-bulkan perpaduan warna yang begitu indah, dan orang biasa menyebutnya pelangi. Aku sangat yakin kalau sekarang jutaan ribu orang yang sedang menyaksikan keindahan perpaduan tujuh warna tersebut. Kecuali orang buta, namun mereka mampu menciptakan keindahan pelangi itu sesuai dengan keinginannya masing-masing lewat daya nalar dan pikirannya.
Gumpalan awan yang kelam perlahan menjadi cerah sehingga menatapnya lama-lama akan menimbulkan silau. Burung-burung mulai bermunculan, beterbangan, meliuk-liuk menangkap serangga kecil yang bercokol dari balik daun jambu depan rumah kost. Angin sepoi pun bertiup menerpa wajahku. Aku mengambil napas panjang, “Ahh..., segar.” Ingin rasanya aku menyimpan udara pagi ini sebagai persiapan sebentar siang. Karena pada siang hari udara di Makassar begitu gerah penuh dengan polusi dan hawa panas yang teramat sangat.
Suasana masih hening. Penjual sayur dan penjual ikan belum juga kelihatan batang hidungnya. Ini pasti gara-gara hujan tadi pagi. Sifat air yang membuat orang basah adalah salah satu senjata pamungkas untuk menghentikan segala aktivitas manusia pada ruang terbuka. Bukan itu saja, air dapat juga menimbulkan malapetaka. Masih tersimpan di memori kita tentang air dengan segala dukanya. Di pulau Jawa misalnya, air yang meluap dan menggenangi beberapa kota telah menghisap puluhan nyawa, mulai nyawa manusia sampai nyawa semut yang ikut terseret oleh arus. Di Aceh, tsunami yang menelang nyawa ratusan juta orang. Hampir di seluruh pulau di tanah air terjadi tanah lonsor akibat hujan yang deras menghantam perbukitan yang sudah botak karena dicukur oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Keheningan buyar bersamaan dengan suara radio Pak Karto yang mendendangkan lagu dandut __Caca Handika. Lagu itu, setiap pagi mengiang di setiap perjalanan urat-urat saraf telingaku. Pak Karto adalah tetangga yang memiliki prinsip cinta produk dalam negeri yang tinggi. Mulai dari aliran musiknya, model rumahnya, dan sarung sutra. Singkat-nya, semua produk yang dipakainya asli buatan Indonesia. Karena terlalu kuat memegang prinsip, dia tidak memiliki barang-barang elektronik yang canggih. Katanya, “Tak ada buatan Indonesia.” Kata itulah yang selalu keluar dari mulutnya dan disaksikan oleh kumisnya yang tebalnya minta ampun.
Suara radio Pak Karto tiba-tiba tertutupi oleh suara motor yang sedang melaju dan beriringan dari ujung gang. Pengen-dara motor masing-masing berboncengan dan sebuah tas raket yang terselimpang di bahunya. Yah, begitulah Pak Sondo dan Pak Herman yang selalu mengisi hari Ahadnya. “Hari Ahad adalah moment untuk menghibur diri setelah enam hari ber-gulat dengan hiruk-pikuknya kehidupan kantoran. Dengan bermain tenis kita akan merasa sehat dan tentunya pikiran pun akan sehat.” Itulah alasan yang paling sering didengungkan saat menolak ajakan tetangganya untuk mengisi hari liburnya di pantai.
Ada juga tetanggaku yang hobinya mengunjungi tempat-tempat khusus demi mendapatkan sebuah hiburan. Tak sedikit uang melayang begitu saja dalam waktu sehari saja. Hal ini, biasa dikritik oleh ustad saat berceramah di Masjid. Begini katanya, “Kenapa mereka tidak membaca Al-Qur’an bersama dengan keluarga di rumah? Kebahagiaan dan kesenangan apa lagi yang tertinggi selain kasih sayang dari Tuhan?”
Namun, pak Karto tidak sepakat dengan pendapat ustad tersebut. Dia lalu berkata pada tetangga-tetangganya, “Mung-kin pak Ustad belum pernah merasakan kebahagiaan dikala dia duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi hangat, dan satu bungkus rokok __Surya (Gudang Garam)__ lalu mengha-yati lagu yang didendangkan oleh Caca Handika. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Berbeda ketika aku membaca Al_Qur’an, maka keresahan yang selalu muncul, karena rea-litas kehidupan sungguh jauh berbeda dengan isi Al_Qur’an.”
Anehnya, pendapat Pak Karto itu ditanggapi dengan anggukan kepala dari para tetangga yang kebetulan ikut men-dengar. Aku pun membenarkan ucapan pak Karto tersebut.
Setelah puas duduk di teras memandangi orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, aku memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Yaaah, sepertinya tidur adalah salah satu cara untuk mengisi liburanku, maklum ma-hasiswa kere, tapi kece lo. Lagi pula terlalu banyak hal yang lebih penting untuk dikerjakan dari pada harus keluyuran sepanjang hari tertawa lebar.
* * *
Matahari perlahan semakin tinggi. Panas yang dipan-tulkan oleh atap rumah menghantam dan membelai pelan tubuhku yang tergeletak di atas kasur. Suhu badanku perlahan berubah. Pada pori-pori kulitku keluar butir-butir air yang berbentuk kristal, bercucuran membasahi kasur. Aku mengge-liat. Gerah. Aku bangkit. Mata kukucek kemudian membela-lak memandangi sekitar. Terlihat foto Jenderal Sudirman, Albert Enstein, dan pahlawan nasional Sultan Hasanuddin sedang menatapku. Sepertinya, tatapan itu melontarkan kata-kata, “Ilmu, dan badik jangan kau selipkan di pinggang, tapi tebaskanlah pada leher-leher kolonial baru yang lahir di negeri ini. Tenggelamkan Makassar dengan darah kawan.” Begitulah aku memaknai tatapan itu. Sementara jam dinding yang diapik oleh gambar-gambar itu terus berdetak dan jarum-jarumnya menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 12.10. Aku meng-geser pantatku ke bibir ranjang dan membersihkan keringat di tubuhku.
Aku kembali duduk di teras. Di depan rumah kost, suara motor menderu-deru menghapus bersih debu-debu di jalan. Hawa panas begitu terasa menerpa wajahku. Pandanganku ke ujung gang memperhatikan seorang perempuan yang me-nyembul dari balik tembok.
Begitu perempuan itu berada pas di pembelokan aku bergumam, “Oh, rupanya perempuan yang tadi pagi.” Penam-pilannya berubah. Pakaiannya rapi dan bersih serta rambutnya tertata dengan indah. Sandal jepit tidak terpasang lagi di kakinya, tapi sepasang sepatu putih dengan garis-garis jingga. Sungguh mempesona.
Langkahnya gemulai menyusuri sepanjang gang melewati teras rumah kost di mana aku duduk saat ini. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang begitu cantik. Mungkin dia berpikir bahwa tanah yang diinjaknya setiap hari lebih pantas melihat wajahnya dari pada laki-laki sepertiku. Harum semer-bak yang bersumber dari perempuan tersebut terasa membekas di sepanjang gang. Dan akhirnya menghilang. Kembali aku bergumam, “Waow, perempuan ini sungguh sangat cantik dan mempesona.”
Pikiranku menimbulkan beberapa pertanyaan, “Siapa perempuan itu? Kenapa aku baru melihatnya? pada hal sudah dua tahun aku tinggal ngekost di rumah ini.” Pertanyaan itu melayang-layang ke awan mencari jawabannya.
Tiba-tiba alarm HP-ku berdering, membuyarkan perta-nyaanku yang sementara melayang-layang. Pertanyaanku buyar seperti balon-balon sabun yang meletus. Terlihat di layar HP-ku; pertemuan dengan seluruh peserta bakti sosial (BAKSOS) di kampus.
“Aduh gawat, aku sudah terlambat.”
Dengan serba terburu-buru aku mengambil sabun mandi __life boy, sikat gigi __formula, dan pasta __pepsodent. Kemudian berlari kecil menapaki anak tangga. Dan tiba-tiba kakiku terpeleset, BRUUUK! Dalam hitungan detik saja aku sudah mendarat dengan sukses di tanah. Pantatku yang montok menghantam tanah dengan hebatnya. Pada radius 1 meter dari patatku terjadi getaran nol koma sekian skala ritcher. Tidak terlalu parah, hanya ngilu doang. Tapi, cukup membuat aku berjalan ke kamar mandi dengan cara ngang-kang kayak monyet yang lagi main sirkus.
Perlahan pintu kamar mandi aku dorong. Air terlihat sangat jernih dan bersih di dalam bak mandi. Satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku terlepas sampai akhirnya tak sehelai benang pun yang tersisa. Aku telanjang bulat. Cepat-cepat aku guyur kepalaku dengan air dan air pun mengalir hingga bermuara di sela-sela jemari kakiku. Basah seluruh tubuhku. Busa sabun menelusuri lekuk-lekuk tubuhku, menyapu habis daki yang sejak kemarin sore menempel. Sesekali mataku terasa perih oleh busa sabun yang berhasil lolos ke dalam lensa mataku. kembali aku menyiram kepala. Aku melirik pantatku. Terlihat memar. Hitam kecokelat-cokelatan. Ini mungkin balasan atas kata-kata jorok yang pernah termuntahkan di mulutku tadi pagi.
Setelah mandi dan menggosok gigi aku kembali berlari kecil menuju kamar. Baju yang aku beli beberapa bulan yang lalu __hasil menabung__ terpasang. Warna baju itu hitam seperti menyatu dengan kulitku yang juga warna hitam. Dengan gaya yang pas-pasan aku menyusuri sepanjang jalan menuju kampus. Panas matahari yang menyengat membakar kulit. Warna hitam pun begitu agresif menampung panas dan hasilnya keringat keluar menetes seperti tetesan air aren dari tangdannya. Lama terasa kondisi itu mendera-dera. Sekitar satu jam lamanya. Rasanya napas sudah mau putus.
“Ini baru sejam, apalagi sepanjang hari berpanas-panas ria, seperti tukang becak, pemulung, anak jalanan di perempatan jalan sambil menyodorkan tangannya berharap ada yang kasihan, dan pengamen yang berjalan di sepanjang jalan menenteng gitar tuanya. Dan semua itu belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan panasnya api neraka yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia.” Kata-kata dari temanku itu menjadi kekuatan yang menyalurkan semangat, menerobos ke dalam setiap urat-urat dan ototku saat melintasi jalan ini setiap hari.
Sepatu biru di kakiku menapaki aspal di bawah terik mata-hari. Sebuah masjid besar dan mewah selalu aku lewati jika ke kampus. Di samping masjid itu, ada beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di sana. Di tempat itulah aku sering membeli air minum jika kehausan saat kembali dari kampus. Namun, belakangan ini wajah-wajah pedagang itu terlihat lesu dan tak bergairah. Hal ini disebabkan karena beberapa hari yang lalu mereka didatangi oleh petugas SATPOL PP dan memerintahkan agar mereka segera pindah dari tempat itu. Salah satu alasannya adalah karena mengganggu tatanan kota, sesuai dengan penuturan pemerintah kota Makassar di koran ‘Fajar’, kemarin. Di sisi lain, tanah yang ditempati oleh peda-gang kaki lima ini disinyalir sebagai milik dari salah seorang pengusaha terkenal di Makassar.
Penggusuran akhir-akhir ini memang sangat sering dilaku-kan. Masih sangat jelas diingatanku beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, di sudut kota ini, tempatnya di ujung Jalan ini __Andi Pangerang Pettarani__ terdapat beberapa rumah kecil yang dindingnya terbuat dari kulit rumbia yang dianyam. Kepulan asap kecil keluar dari tengah rumah, pertanda bahwa ruang tamu dengan dapur adalah sama. Namun, pemandangan itu segera berakhir karena rumah tersebut digusur oleh seorang pengusaha kaya yang akan mendirikan hotel berbintang lima. Yaah, hotel yang sekarang berdiri kokoh di ujung jalan ini. Hari itu, beberapa orang berbadan kekar telah mengelilingi kios-kios dan rumah-rumah kecil yang berjejer di sekitar masjid dengan perlengkapan penggusuran. Pemilik rumah itu keluar dengan iringan tangis histeris sambil ngomel-ngomel dan berbagai makian yang terlontar. Penghuni rumah tetap bertahan agar rumah mereka tidak digusur.
Teriakan dari orang-orang tergusur itu sangat memilukan. Namun, para penggusur itu santai dan senyum-senyum saja. Rakyat yang miskin itu sangat bingung dan berteriak-teriak di depan wartawan yang sementara meliput berita itu, “Kami harus kemana? kami cuma rakyat miskin yang butuh keadilan dari pemerintah, kami juga butuh kehidupan seperti mereka.” Sambil menunjuki orang yang perutnya buncit karena keke-nyangan. Kemudian dia memperlihatkan perut anaknya yang buncit dan berkata, “Perutnya buncit karena busung lapar.” Sambungnya.
Teriakan itu tak dipedulikan, kekerasan pun tak terelak-kan. Aparat keamanan begitu agresif menghalau masyarakat yang mencoba untuk bertahan. Namun, ketika diperhadapkan dengan musuh rakyat yang berduit mereka hanya mengemis dan meminta belas kasihan dan hukum pun telah ternodai olehnya. Pemerintah sepertinya tidak mampu mengatasi masa-lah rakyatnya, mereka hanya mampu untuk memukuli dan memenjarakan rakyat kecil yang butuh hidup. Mereka telah buta dengan dunia kapitalis dan takut untuk miskin sehingga rakyatnya yang jadi sasaran dari ketakutan itu. Pada hal, ketakutan terbesar yang sesungguhnya adalah ketika rakyat yang jadi miskin.
Tak sedikit masyarakat miskin yang sudah menjadi kor-ban penggusuran. Mereka kehilangan tempat tinggal, tak ter-urus, berduka, tertunduk, dan terdiam meratapi nasibnya. Anak-anaknya dilepaskan ke jalan untuk mengulurkan tangan dengan pakaian compang-camping. Dengan modal alat musik tradisional dari penampang baterai, hasil karya sendiri, mereka bernyanyi dan meninggalkan bangku sekolah demi sesuap makanan.
Mereka terbelenggu bagai burung di dalam sangkar yang setiap harinya hanya bernyanyi tanpa kenal lelah. Apakah bangsa ini sedang berevolusi sehingga terjadi seleksi penguasa di antara mereka “diskriminasi” akankah teori Darwin muncul lagi setelah tumbang __orde baru bangkit lagi dengan diktator-nya. Kenapa harus mereka __orang miskin¬__ yang tertindas? Apakah kebenaran dan keadilan sekarang ini adalah uang dan jabatan dengan dasar-dasar Pancasila dan undang-undangnya? Al-Qur’an mereka jadikan sebagai senjata kedamaian dan berlindung di baliknya. Dimanakah orang-orang itu? jangan-jangan mereka ada berkeliaran di mana-mana dengan berto-peng Al-Qur’an, demokrasi, HAM, dan keadilan. Aku takut membayangkan itu, kuingin jadi detektif agar kutahu orang yang bertopeng itu dan kugantikan topeng mereka dengan topeng monyet hingga semua orang menonton dan mengasihi-nya dengan memberikan uang Rp.50,-, agar mereka paham betapa berharganya uang Rp.50,- itu bagi mereka dan sakitnya orang yang tertindas. Sehingga mereka tidak akan lagi mema-kan uang rakyat, anak yatim dan orang miskin dan merampas harta mereka. Pada malam hari mereka mencoba pejamkan mata seraya berdoa untuk bermimpi yang indah, namun selalu terjaga dengan mimpi buruk yang meraka lihat dan rasakan selama ini. Topeng kemanusiaan yang palsu itu selalu terba-yang, “Kami tertindas” Teriakan hesteris itu selalu menggema dalam kesunyian malam seiring dengan lolongan anjing. Ku-bertanya dalam hati di mana demokrasi yang diimpikan oleh nenek moyang kita? Akankah semuanya itu hanya akan men-jadi dongeng belaka atau hanya sebuah untaian kata-kata yang cantik untuk menghibur anak-anak kita yang dalam kebingungan, dalam keresahan karena matanya tak dapat terpejamkan.
Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan oleh peme-rintah sampai pada kekerasan pada mahasiswa dan menem-baki mereka. Bayangan kekerasan itu, kembali akan menjadi kenyataan seiring dengan deadline waktu yang disebutkan dalam koran Fajar yaitu: HARI RABU AKAN DIADAKAN PENGGUSURAN PEDAGANG KAKI LIMA. Penindasan terhadap rakyat kecil yang seperti inilah yang sangat tidak disenangi oleh Anton Chekov.
* * *
Sampai di tempat yang telah ditentukan. Peserta rapat sudah berkumpul di dalam gedung. Pandanganku liar menatap semua yang hadir. Pandanganku baru berhenti pada sosok perempuan yang sedang duduk di pojok kanan. Dia adalah perempuan yang tadi pagi ngos-ngosan saat menghindari air hujan. Lalu tertanam sebuah pertanyaan dalam hati, “Kenapa dia ada di sini?” Pertanyaan ini harus dijawab oleh ketua pani-tia BAKSOS setelah pertemuan ini selesai. Perempuan itu selalu melirik-lirik ke arahku, tapi aku bergaya cuek untuk menjaga wibawa. Teknik ini aku dapat dari seorang aktor terkenal Indonesia ‘Roma Irama’.
Begitu pertemuan selesai. Aku buru-buru berdiri dan du-duk di dekat ketua panitia BAKSOS. Pertanyaan tentang perempuan yang duduk di pojok kanan kembali aku tanyakan. Dia pun dengan singkat menjelaskan.
“Jadi, dia dari jurusan Biologi?” ekspresiku kaget.
“Tidak salah lagi.”
BAKSOS yang direncanakan teman-teman terbilang cu-kup besar. Pesertanya berasal dari beberapa utusan jurusan tertentu. Dan salah satu syarat untuk bisa diterima sebagai peserta adalah harus memiliki keahlian untuk dapat diapli-kasikan kepada masyarakat.
Tes bakat itu sudah berlangsung beberapa hari yang lalu. Berbagai keterampilan yang terdengar di telinga saat satu persatu peserta mengemukakan keahliannya, “Aku bisa meng-ajarkan kepada masyarakat tentang cara bertani yang baik,… kalau aku bisa membimbing anak-anak sekolah tentang cara menjaga hutan dan melestarikannya,… kalau aku bisa meng-ajari anak-anak desa mengaji,… aku bisa mengajarkan bebe-rapa keterampilan hidup, seperti memanfaatkan limbah industri rumah tangga untuk barang hias agar sampah tidak bertebaran kemana-mana,… kalau aku bisa mengajarkan anak sekolah tentang cara membuat karya tulis ilmiah dan pembi-naan KIR,… kalau aku sih sederhana, yaitu mengajarkan semua makhluk di bumi ini untuk tersenyum, supaya kalau mereka jadi pemimpin tidak merasa sombong dan selalu me-nyapa warganya,…”
Identifikasi keahlian ini sangat penting, karena bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan di lapangan didasarkan pada sumber dan tenaga ahli yang ada. Skema kegiatan kemudian diprint dan dibagikan kepada seluruh peserta untuk dipelajari.
Selembar skema kegiatan aku raih. Semua nama peserta yang tercantum dalam daftar aku perhatikan.
“Siapa nama peserta utusan dari jurusan Biologi itu?” tanyaku kepada ketua panitia.
“Monalisa. Ada apa dengan dia?”
“Tidak.” Jawabku singkat, karena aku tidak ingin keta-huan kalau perempuan itu sebenarnya membuat jiwa dan pikirku bertanya penasaran.
Pada daftar aku lihat Monalisa berada pada urutan ke 27. Pada biodatanya sangat jelas kalau dia itu tinggal satu gang denganku. Dan menariknya dia memiliki keahlian yang sama dengan aku yaitu; menulis karya ilmiah. Dapat aku pastikan kalau aku dan Monalisa akan satu kelompok pada acara BAKSOS nanti. Senyum kepuasan mengembang di bibirku yang seksi,….

Naskah cerita yang aku tulis tidak dibaca oleh Sang Editor sampai tuntas. Lalu dia menatapku pelan dan berkata, “Apa alasan kamu sehingga ingin menulis novel? Apakah kamu ingin menjadi orang yang terkenal?”
Entah kenapa, pertanyaan itu seperti belati yang langsung menikam tubuhku pada bagian tertentu. Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya. Lalu aku menjawab, “Tidak, aku menulis karena ingin menyampaikan sesuatu yang aku rasakan kepada orang lain.”
Mendengar jawaban aku yang pelan dan sedikit grogi, Sang Editor tersenyum, dan berkata, “Menulis itu, tidak seke-dar ingin menyampaikan sesuatu yang kita rasakan, tapi tulisan itu harus mampu merubah paradigma berpikir orang yang membacanya.” Kemudian Sang Editor menghisap rokok-nya, dan melanjutkan komentarnya, “Kalau kamu mengingin-kan aku mengomentari tulisan kamu, maka aku akan mengata-kan bahwa tulisan kamu itu sangat jelek dan tulisan itu sama dengan sampah yang tidak ada gunanya.”
Komentar Sang Editor tersebut menciptakan rasa kaget yang sungguh luar biasa dalam diriku. Sebuah komentar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Komentar yang sung-guh sangat pedih. Aku merasa tersambar api neraka hingga membuat tubuhku menjadi gosong. Aku merasakan ketakutan yang sungguh luar biasa. Wajahku memerah karena menahan malu. Namun, beberapa menit kemudian kudapati diriku kem-bali tenang. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyeruak dalam dimensi pikirku. Mengantarkan pada keikhlasan menerima komentar dari Sang Editor tersebut. Aku sangat yakin kalau apa yang diucapkannya adalah sesuatu yang dapat merubah cara berpikir aku tentang sastra yang sesungguhnya.
Kemudian Sang Editor melanjutkan kata-katanya, “Se-buah karya yang berupa tulisan akan mendapat sambutan yang baik, ketika tulisan itu dapat menggugah paradigma pikir pem-baca. Dan perlu juga kamu ketahui kalau sastra bukan sebuah hiburan ataukah pelampiasan saat kamu dalam keadaan yang susah. Tapi, sastra adalah kehidupan.”
Dengan sisa-sisa keberanian, aku mencoba membela diri, dan berkata, “Apakah tulisan aku tidak mampu merubah para-digma pembaca, bukankah dalam tulisan itu aku mencoba mengungkapkan realitas yang terjadi selama ini.”
Sang Editor kembali tersenyum dan berkata, “Tulisan kamu hanya menceritakan sebuah realitas yang sudah diketa-hui oleh semua orang, dan mereka sudah terbiasa dengan kondisi yang seperti itu. Tak ada enaknya cerita yang engkau persembahkan itu,.. hambar rasanya.”
Untuk selanjutnya aku hanya terdiam mendengar penu-turan demi penuturan yang disampaikan oleh Sang Editor. Berbagai ide-ide yang disampaikan padaku dan teknik menulis yang baik dan menggugah. Semuanya aku catat pada sebuah buku diary yang berwarna biru. Diary pemberian seorang kekasih tercinta.

Monalisa

___Prolog___


Monalisa bersedih. Tangannya yang lentik memukul-mukul tanah hitam yang mulai basah oleh air matanya. Sepertinya dia ingin menumpahkan rasa kekesalannya kepada Tuhan yang telah menciptakan kehidupan. Baginya, mati lebih baik daripada harus melihat satu-persatu bagian kehidupannya dicabut. Apakah Leonardo Davinci telah salah dalam melukis Monalisa?. Ah! tidak mungkin. Seandainya benar, mengapa Monalisa tidak dari dulu menggugat atas kesalahan Leonardo Davinci?
Oh,.. rupanya Monalisa bukanlah sosok yang dilukis oleh Leonardo Davinci. Lalu siapakah dia? Apakah dia sama cantik dengan lukisan ’Monalisa’? Seperti apakah tangisannya? Entahlah,.. biarkan waktu menyelidiki, membongkar, dan menjawab semua misteri hidup Monalisa.
Aku mencoba menggambarkan tangisan Monalisa dalam sebuah novel. Namun, menggambarkan Monalisa ternyata bukan hal yang mudah, karena aku hanyalah penulis pemula. Bukan siapa-siapa. Keinginan untuk menulis sebuah novel hanya didasarkan pada kekecewaan dari beberapa novel yang pernah aku baca. Yaaah, kecewa. Tak ada alasan lain yang aku tahu selain dari karena kecewa. Betul,.. sungguh itu saja.
Tangisan Monalisa yang mencoba aku untai sedemikian cantik tak pernah memuaskan seorang Editor. Makian dan kata-kata kasar yang selalu kudapatkan. Aku menangis. Yaah, aku menangis seperti Monalisa yang menangis.

* * *

pelacur juga manusia

Obsesi ini sebenarnya sudah lama tertanam dalam benakku, kalau tidak salah enam bulan yang lalu. Terkadang teman-teman mentertawakanku karena memiliki selera terlalu rendah. Namun, aku membungkam tertawaan mereka dengan kalimat seperti ini, “Kalian jangan menganggap pelacur adalah murahan dan rendahan serta mentertawakannya. Tapi, tertawakanlah pemimpin kalian yang telah menggadaikan harga diri dan kehormatan bangsa ini. Dan tertawakanlah diri kalian karena kalian termasuk salah satu yang digadaikan dan dilacurkan.” Kata-kata ini seperti bom atom yang aku ledakkan di telinga mereka. Dan hasilnya, mereka langsung terdiam meresapi dirinya yang perlahan-lahan hancur berkeping-keping.
Setiap kali selesai mengejekku, maka aku melampiaskan kekesalanku di pantai. Di tempat itulah, aku berdiskusi dengan gelombang laut yang selalu pasang surut. Sesekali aku berteriak seperti orang gila, dan hasilnya ikan-ikan yang mendekat ke bibir pantai langsung gemetaran dan lompat menyelematkan diri. Ombak yang menggulung mencumbui batu karang. Melumat bibir pantai. Sesekali bergemuruh. Air lautpun terpercik menyentuh bibirku. Kurasakan sangat asing. “Inilah garam kehidupan.” Pikirku.
Tiba-tiba saja ada bayangan yang melintasi kepalaku. Aku menoleh ke belakang. Rupanya Syam sedang mematung. Dia tersenyum dan berkata, “Aku masih penasaran dengan Obsesimu itu?”
Namun dia semakin penasaran ketika rasa penasarannya aku jawab, ”Harus,... aku harus pacaran dengan pelacur, tidak boleh tidak. Titik.”
Dia hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Lalu mendudukkan pantatnya di sampingku. “Sebenarnya tidak susah mendapatkan markas para pelacur itu.” Katanya sambil memperlihatkan sederatan nama-nama cafe dan diskotik yang terkenal di daerah ini.
“Jadi kamu mau membantu aku?”
Dia tersenyum. Pertanda positif.
* * *
Satu persatu diskotik dan cafe-cafe didatangi. Syam mengendarai sebuah motor. Setiap kali motor itu berhenti di depan diskotik atau cafe, maka senyum hangat dari satpam dan beberapa tukang pukul mengembang, lalu mempersilahkan masuk. Sambutan petugas diskotik memperlihatkan sebuah interaksi sosial yang sangat beretika. Bahkan Syam jarang menemukan tata cara penyambutan yang sangat menghormati tamunya. Yaaah, hanya di tempat-tempat pelacuran itu.
Begitu kepala Syam menyembul di pintu diskotik, maka suara mesra dari perempuan-perempuan cantik menggelitik telinga. Pakaian yang sempit. Belahan dadanya begitu mencuak. Bersinar memperlihatkan daya tariknya. Pinggulnya melenggok, ibarat gendang yang siap ditabuh. Cara bicara pelacur-pelacur itu begitu merangsang dan belaiannya membuat semua bulu-bulu halus berdiri dan semua yang bisa berdiri. Rudal-rudal penyalur sperma kehidupan pun langsung berontak.
Pada diskotik yang pertama dan kedua yang didatangi tidak membuahkan hasil. Begitupun diskotik-diskotik setelahnya. Pelacur-pelacur itu selalu saja menolak, “Ah, palingan orang yang mencari pelacur sebagai pacarnya adalah orang gila yang akan memuaskan birahinya secara gratis.”
Sampai akhirnya Syam kembali dengan tangan hampa. Menemuiku. Bertanya.
“Kamu tak usah tahu alasannya. Cukuplah kamu memahami aku, kalau aku ini bukan laki-laki berperut buncit seperti yang dibahasakan oleh pelacur-pelacur itu. Dan kalau kamu bertemu lagi dengan pelacur-pelacur itu, maka sampaikan padanya kalau aturan main dalam pacaran biar dia yang tentukan.”
* * *
Syam kembali berkelana di cafe dan diskotik. Dan dia tidak gagal lagi. Beberapa nama dan foto yang bersedia menjadi kekasihku, dipersembahkan. Sejenak aku berpikir. Lalu tersenyum dan berkata, “Di antara pelacur-pelacur itu mana yang paling cerdas, cantik dan paling menyenangkan?”
Syam cengengesan aku tanyai, lalu ia memberikan secarik foto ukuran 3R, “Kalau aku yang disuruh memilih maka aku akan memilih ini. Dia itu,... Waow, sungguh luar biasa, dijamin deh.”
Saran diterima. Diaturlah pertemuan. Di sebuah cafe, pukul 12.00, siang. Yaah, pada waktu yang tepat, wanita yang ditunggu nongol dengan gayanya yang sangat kontradiksi dengan bayangan yang aku mainkan di kepalaku sebelum berangkat dari rumah. Persangkaanku, wanita itu akan datang dengan pakaian yang seksi dengan baju yang jangkis sampai bulu-bulu halus di ketiaknya kelihatan. Tapi, ternyata aku salah. Aku tertipu. Dan aku hampir saja tidak percaya kalau gadis itulah yang dimaksud oleh Syam. Soalnya perempuan itu memakai pakaian yang tertutup dan kelihatan sangat terhormat.
Kata-kata yang sedikit eksotis dan seksi yang aku siapkan menjadi tak berguna. Aku dibuat grogi. Dia pun kelihatan tidak nyaman. Syam sedikit bermanufer menjelaskan dan menerangkan biodataku. Lenggok kiri, lenggok kanan. Dan tiba-tiba biji pelernya terantuk di sudut meja. Dia meraung-raung memegangi bagian itu. Pelacur itu tertawa geli. Kalau aku sih, tak usah diragukan lagi, tawaku kini membahana membuat suara keras lainnya terdiam.
Perkenalan awal dengan sang pelacur legendaris di cafe menjadi sebuah moment yang tak terlupakan. Bisa dibilang pertemuan antara Romeo and Julie. Perlahan aku merasa obsesi yang entah darimana munculnya mulai tercapai.
* * *
Betul ucapan Syam. Pelacur pilihannya begitu menggairahkan dan memberikan kepuasan yang sungguh luar biasa. Dia betul-betul sangat luar biasa. Dia selalu mempersembahkan yang terbaik buatku. Hubungan kami berjalan dengan mulus. Kasih mengasihi adalah warna yang menghiasi hari-hari kami. Dia sangat menghormatiku. Dia tidak lagi mencari pelanggang baru. Pelacurku tak perlu lagi berdo’a pada setiap kali dia berhias diri di depan cermin. Do’a agar supaya setiap malamnya dia laku keras. Seperti dalam puisi Atja Razak Thaha, ’do’a seorang pelacur’.
Pernah kami di pantai. Aku membeli air minum di sebuah toko. Membiarkan pelacurku sendirian di tanggul. Begitu aku kembali, kudapati seorang laki-laki sedang mendekatinya. Sangat jelas kata pemuda itu, ”Hai pelacur! Kita jalan yuk!”. Pelacurku marah. Menangis. Ada kekuatan merasuki diriku. Aku kesurupan dan langsung menghajar pemuda itu sampai KO. Peristiwa itu, menyadarkan kalau konflik antara Habil dan Qabil yang dipicu oleh persaingan dan perebutan cinta sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar. Hubungan antara laki-laki dan perempuan menyimpan suatu kekuatan terpendam yang sewaktu-waktu bisa memicu dan memacu tindakan-tindakan besar yang tak terduga. Dan peristiwa itu ternyata menguntungkan. Pelacurku semakin sayang dan cinta padaku. Berbagai metode dan gaya yang dipakai untuk mempersembahkan kepuasan padaku. Sungguh pelacurku sangat luar biasa,.... .
* * *
Hari ini aku sedang menunggunya. Tiga buah buku di hadapanku tergeletak. Perasaanku tidak karuan. Tidak ada gairah untuk berbuat sesuatu. Aku tahu bahwa perasaan ini adalah rekayasa iblis. Namun, perasaan itu meluluhlantakkan keimananku. Menggorogoti tubuhku. Mencabik-cabik kulitku. Kesimpulannya, jiwa dan ragaku dipelintir seperti cucian yang diperas, kemudian diputar sekencang-kencangnya seperti baling-baling helikopter dan dihempaskan ke bumi. BRUAAK! Jiwa dan ragaku hancur berkeping-keping. Nafsu sungguh teramat hebat.
Akhirnya sore pun menggelayuti bumi. Kedatangan pelacurku yang manis dan cantik adalah jawaban atas keresahan yang aku alami sepanjang hari ini. Keresahan akan hasrat yang sudah dipengaruhi oleh iblis. Begitu pelacurku menyembul di tangga, senyumnya langsung merekah. Senyum itu menaburkan kembang tujuh rupa. Dia menyapa, “Sudah lama nunggunya kak? Keadaannya baik-baik saja kan?” Suaranya yang merdu, dan genit menjadi mantra-mantra yang memabukkan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Kembali pelacurku berbicara, “Wahai kekasihku yang tampan, mengkhayalkah engkau?”
Penuturan pelacurku begitu lembut dan mengalir kasih sayang yang luar biasa. Kekesalan yang aku rasakan atas keterlambatannya langsung hilang. Lalu aku berucap, “Wahai kekasihku, hari ini engkau sedikit terlambat. Tapi, tidak apalah yang penting sekarang engkau sudah ada di depanku dengan penampilan yang aduhai,...”Aku tersenyum manis.
Proses komunikasi antara komunikan dengan komunikator sangat komunikatif. Permainan kata-kata yang aku mainkan mengalir dengan indah dan penuh dengan mantra yang sakti mandraguna seperti yang dilantunkan oleh ‘Arya Dwi Pangga’ dalam kisah ‘Tutur Tinular’. Kata demi kata terkait-kait satu sama lain. Suara tawa dan senyum mengembang adalah warna yang menghiasi pertemuan ini.
“Ahhh, kanda bisa saja sih,… jangan dong ah,.. hihihi.”
“Kamu kan kekasihku. Masa’ nggak boleh sih.”
Tanpa terasa. Malam perlahan menenggelamkan bumi dalam kegelapan. Iblis dan sejenisnya perlahan beraksi, menggoda dan merasuki makhluk Tuhan. Terkecuali aku, karena pagi-pagi sekali iblis telah menggoda dan menjelma dalam diriku. Tadi pagi, aku resah karena ingin sekali bertemu dengan kekasihku, bercumbu, dan bermesraan seperti sekarang yang berlangsung.
Dalam sekejap, aku ibarat singa dan pelacurku ibarat ayam yang sangat kenyal dan nikmat. Komunikasi berlanjut tanpa kata lagi. Bahasa tubuh yang mendominasi. Lama komunikasi tubuh berlangsung dan akhirnya kami bosan. Berhenti. Tak berkutik.
Di puncak kenikmatan itu aku berbisik kepada pelacurku, “Maukah engkau menjadi istriku?”
“Kenapa harus aku? Masih banyak perempuan yang siap dinikahi kapan saja.”
“Aku tidak percaya perempuan-perempuan itu masih perawan. Aku tidak bisa yakin mereka akan seramah kau, sebaik kau, sepenyayang kau, dan memberikan kepuasan yang sungguh luar biasa seperti kau saat ini.” jawabku
Pelacurku tersenyum dan mulutnya mengunyah renyah telingaku, “Aku siap menjadi pelacurmu yang sesungguhnya.”
* * *

rahasia suara aneh

Di dalam kamar, aku duduk membaca buku cerita karangan Wibowo tentang love’s my heart. sementara membaca, bayangan seorang cewek lewak di depan pintu namun, tak kupedulikan. Terdengar sapa dari salah satu penghuni kamar di sebelah kamarku, sesaat kemudian aku mendengar mereka bercoloteh layaknya orang yang lagi sedang main teka-teki. Mereka tertawa, suara itu nampak jelas bagiku. Suara berisik itu sangat mengganggu konsentrasiku, kutinggalkan tempat itu menuju ke tempat salah satu penjual di depan rumah.

Di toko saya membeli kopi susu dan roti, bingkisan yang kubawa dari toko kubuka dan mengambil gelas untuk membuat kopi sambil makan roti sebagai pengganti makan malam. Suasana menjadi hening suara berisik yang tadi terdengar kini telah tiada, dan berganti dengan suara radio yang tidak begitu besar suaranya. Babakan cerita komik pun berlanjut dan tak terasa lembaran-lembaran komik tersebut telah selesai aku baca. Rasa ngantuk yang menyerang kini sudah tak tertahankan kurebahkan diriku dan kemudian mata sayu ini terpejamlah dengan nikmatnya. Mimpi yang menjadi kembang tidur telah datang di dalam dunia mimpi itu sendiri.

Pada saat subuh, aku kemudian bangun untuk berwudhu di kamar WC bagian belakang. Saat aku lewat depan kamar itu aku mendengar suara aneh yang membuat bulu kudukku agak merinding. Tak kupedulikan suara itu aku terus melangkah menuju WC dan kemudian aku berangkat ke Mesjid. Hari itu adalah hari Ahad, maka kusempatkan untuk lari-lari subuh bersama dengan anak- anak tetangga. Sepulangnya saya memasak sayur yang dibeli dari pasar, untuk makan siang. Hari-hariku berlalu biasa saja tanpa ada sesuatu yang ganjil setelah adanya suara aneh itu.

Satu pekan telah berlalu pada kamar yang sama aku duduk dengan teman sambil berdiskusi tentang budaya dan hal-hal lain yang nyangkut di kepala. Diskusi pun berlanjut hingga pukul 09.30 malam. Kemudian Iwan temanku itu pamit untuk pulang ke rumah adiknya yang ada di sekitar pasar Pa’bambaeng. Malam itu rasa ngantuk yang biasanya menyerang tak kunjung datang sehingga kusempatkan diriku baca buku lagi. Sampai tengah malam, mata ini belum ingin untuk terpejam sementara mimpi indah telah menanti bersama dengan detik jam dinding yang senantiasa menghibur dan meninabobokkan.

Jarum jam yang pendek telah menunjuk angka dua namun, rasa ngantuk ini belum juga datang lalu kuputuskan untuk shalat tengah malam saja mudah-mudahan setelah itu aku baru bisa tertidur. WC itu masih di tempatnya semula tiba-tiba suara itu terdengar lagi, suara aneh dari salah satu kamar belakang yang saya lewati. Aku sebenarnya penasaran dengan suara aneh itu namun, kuurungkan niatku untuk memerikasanya. Malam pun berlalu suara adzan di mesjid telah berkumandang kubuka pintu kamar dan membaca Al-Qur’an, sementara duduk baca Al-Qur’an terdengar orang membuka pintu di kamar belakang. Saat itu, bayangan hitam dengan rambut panjang lewat di depan kamar bayangan itu mirip dengan bayangan cewek yang pernah datang minggu yang lalu pada hari yang sama.

Kenapa dia bermalam di kamar itu pada hal kamar itu adalah kamar cowok. Oh! aku baru sadar saat itu, Rahasia tentang suara aneh itu kemudian terungkap olehku ternyata dia, yang meng aoh,… oh… tadi malam, dasar cewek!
Astagafirullahalazim

teriakan setan

Aku berlari dengan kencang mengikuti teriakan itu, dimana seorang gadis seksi berdiri di ketinggian, berkalungkan emas, dan permata yang berkilauan, terbayang dibenakku kesenangan dan kenikmatan. Semakin keras teriakan itu maka larikupun semakin kencang, tak peduli disekitarku, hewan-hewan kecil terinjak remuk dan hancur “kraaaaat” mereka binasa. Tak sedikit hutan yang aku bakar ketika menghalangi jalan dan penglihatan untuk memuaskan napsu itu.
Aku terus berlari menuju ketinggian itu, dimana akal dan rasionalitas tidak lagi yang terdepan aku hanya ingin kenikmatan dan kesenangan, tak peduli di sekitarku. Dan tak kala diperjalanan kutemukan seseorang mengendarai kuda, maka kurampas kuda itu sehingga pertumpahan darahpun tak terelakkan. Hari itu satu lagi korban pemuasan napsu.
Mata hati telah tertutupi oleh kemolekan tubuh dan silau akan permata dan perhiasan, sehingga saudarapun jadi korban. Kuda terus berpacu dengan kencangnya melewati tebing yang terjal dan tiba-tiba “aaaaaaahhhhhhh…….” Teriakan hesteris, teriakan yang penuh penyesalan kuda yang kutumpangi terpeleset dan jatuh ke dalam juram “aku binasa, aku tersesat”
“Ambisi dari seorang penguasa untuk memperoleh kesenangannya tampa memperhatikan rakyat kecil disekitarnya jadi korban dan merusak lingkungannya”.
Memang sangat dilematis, ketika dalam mendapatkan kesenangan misalnya kekuasaan, dan harta kekayaan dengan menggunakan cara-cara yang di luar jalur yang ada. Mereka bergerak untuk menuju kepada pencapaian tujuan dengan menyingkirkan segala hambatan yang disekitarnya sampai-sampai rakyat kecil di sekitarnya diinjak-injak tampa belas kasihan. Hal ini dapat kita lihat bagaimana para pemilik modal membangun usaha untuk kesejahteraannya dengan menggusur mereka tanpa memperhatikan apa dampak fsikologis dari semua itu.
Rakyat sekali lagi menangis dengan keluarnya undang-undang perpres No 33 tentang kebijakan hak dan wewenang kepemilikan tanah. Hal ini memberikan indikasi bahwa yang merumuskan segala undang-undang perekonomian rakyat Indonesia adalah mereka pemilik modal. Mereka saling memangsa satu sama lain tak kenal kawan dan tak kenal lawan layaknya pergulatan di dalam dunia rimba raya. Dengan demikian kapan rakyat diurusi ? sementara mereka berkelahi satu sama lain untuk kepentingan diri sendiri.
Untuk menjawab itu maka ada beberapa faktor yang sebenarnya menjadi pemicunya akan tetapi saya hanya akan membahasakan bahwa terjadinya hal itu karena mereka lebih cenderung mendengarkan teriakan setan yang ada pada dirinya, dan di luar dirinya. Sebagai contoh banyak sekali wakil rakyat yang korupsi, itu karena keinginan materialnya dan prinsip kapitalisnya yang lebih dominan dibanding dengan kemauan untuk membangun rakyat. Selain itu manajemen pengamanan dan pengaturan dalam sistem pemerintahan sampai hari ini belum jelas. Terbukti dari banyaknya kasus yang terjadi dikalangan birokrasi yang semestinya birokrasi adalah menjadi badan pengawas dan pelindung akan tetapi tidak demikian, bahkan mereka sendiri yang melakukan pelanggaran itu dan sangat banyak di antara mereka yang bebas dari cengkeraman hukum “ ada apa dengan ini semua kawan ?”
Semakin jelas bahwa demokrasi dari segala bidang kehidupan manusia Indonesia masih setengah hati dilakukan oleh pihak pemerintah. Dampak dari hal itu adalah terjadinya kelaparan dimana-mana, penyakit baru yang sangat ganas dan mematikan, dan penggusuran yang hampir di seluruh Indinesia terjadi. Sadarkah kita bahwa kita sampai hari ini masih diobok-obok dengan segala janji-janji palsu tanpa ada realisasi.
“Wahai manusia, kalian semua faqir (tergantung) kepada Allah, dan Allah adalah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji”.
(QS. Faathir : 15)
Ditulis Ketika Menontong Inul Bernyanyi dan Buser

buah dari ketidakadilan

KEMISKINAN ADALAH BUAH DARI KETIDAKADILAN
Assalamu Alaikum wr.wb
Di sudut kota terdapat beberapa rumah kecil yang dindingnya terbuat dari kulit rumbia yang dianyam. Kepulan asap kecil keluar dari tengah rumah pertanda bahwa ruang tamu dengan dapur adalah sama. Namun,, pemandangan itu akan segera berakhir karena menurut kabar rumah tersebut akan digusur oleh seorang pengusaha kaya yang akan mendirikan hotel berbintang lima.
Tiga hari kemudian benarlah berita tersebut karena beberapa orang yang berbadan kekar telah mengeliligi rumah-rumah kecil itu dengan membawa perlengkapan penggusuran. Pemilik rumah itu keluar dengan menangis histeris sambil ngomel dan berbagai makian terhadap para penggusur serta tetap bertahan agar rumah mereka tidak digusur. Di seberang jalan, beberapa orang di antara mereka berpakaian Dinas dengan tulisan PEMDA dan baju warna coklat dan gagah lengkap dengan senjata di tangannya.
Teriakan dari orang-orang tergusur itu sangat memilukan namun,, kelihat para penggusur itu santai dan senyum-senyum saja. Rakyat miskin itu sangat bingun dan berteriak,
‘kami harus kemana lagi, kami cuma rakyat miskin yang butuh keadilan dari pemerintah kami juga butuh kehidupan seperti, mereka yang perutnya buncit karena kekenyangan dan perut kami buncit karena busung lapar.
Teriakan itu tak dipedulikan, kekerasan pun tak terelakkan aparat itu sangat agresif dalam menghalaui rakyat miskin itu. Namun,, ketika diperhadapkan dengan musuh rakyat yang berduit mereka hanya mengemis dan meminta belas kasihan dan hukum pun telah ternodai olehnya. Pemerintah memang bodoh karena tidak mampu mengatasi masalah rakyatnya, mereka hanya mampu untuk memukuli dan memenjarakan rakyat kecil yang butuh hidup. Mereka telah buta dengan dunia kapitalis dan takut untuk miskin sehingga rakyatnya yang jadi sasaran dari ketakutan itu. Mereka tidak pernah merasa takut ketika rakyat yang jadi miskin.
Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan oleh pemerintah sampai pada kekerasan pada mahasiswa dan menembaki mereka. Kukatan kepadamu wahai pemerintah yang bejak ‘kamu adalah penghianat, bangsat, dan brensek’ kekecewaan ini dan perbuatanmu kepada rakyat kecil akan menjadi saksi dari ketidakadilanmu.
Kekerasan secara umum dibedakan dalam tiga kategori seperti apa yang diungkapkan oleh Dom Helder Camara yaitu bahwa spiral kekerasan adalah kekerasan personal, institusional, dan struktural seperti ketidakadilan, kekerasan pemborontakan sipil, dan represi negara.
Ketidakadilan
Ketidakadilan yang terjadi terhadap masyarakat menimbulkan banyak konflik yang sangat meresahkan masyarakat. Ketidakadilan itu dapat dijumpai dimana-mana dalam masyarakat khususnya dalam menerapkan hukum, dan kebijakan pemerintah lainnya. Kebijakan-kebijakan yang ada seperti privatisasi terhadap kekayaan alam tertentu contohnya air, BBM yang mempengaruhi keadaan ekonomi dan kehidupan rakyat.
Hukum yang ada telah diperjual belikan sehingga kekuatan hukum kini telah bersandar kepada pemilik modal, dan pemegang kekuasaan. Hak asasi manusia kini telah menjadi permainan belaka ditambah keberpihakan media kepada penguasa yang telah mengacaukan segala bentuk perlawanan dan pergerakan para kaum tertindas. Media yang menjadi senjata pemerintah saat ini telah menjadikan pergerakan kaum kiri sebagai kambing hitam atas segala peristiwa yang terjadi selama ini. Sebagai contoh kecil, dalam dunia kampus sendiri telah terjadi pembusukan karakter dan citra buruk almamater telah banyak diespos yang sebenarnya adalah setting pemerintah untuk menjatuhkan dan melumpuhkan pergerakan.
Media juga telah menghipnotis kaulah mudah untuk terjun kedunia maya dengan segala bentuk kecanggihannya, kemudahannya dan mempengaruhi pola pikir para remaja menuju kepada kapitalisme. Kerusakan moral juga tak sedikit diakibatkan oleh tayangan-tayangan di TV yang tak layak untuk dikomsumsi oleh orang kebanyakan. Pilter yang selama ini dijanjikan dan dilakukan oleh pemerintah tidak mampu untuk membendung desakan arus globalisasi.
Karena bagaimana mungkin dapat dibendung kalau kita masih menggantunkan diri terhadap AS dan IMF yang membuat kita semakin terjerat dalam utang negara yang semakin bertumpuk sehingga peluang untuk maju bagi indonesia sangatlah kecil ‘sampai kapan kita bisa maju, sampai kapan kawan’. Bagaimana kita bisa membendung ketika hukum masih menjadi pelengkap institusi negara saja, itu akan susah terjadi ‘samaji dengan bohong kawan’.
Di sisi lain, tak sedikit juga tokoh-tokoh pergerakan yang telah menjual harga diri dan idealitasnya untuk membela kaum penindas. Hal ini menyebabkan pula ketidakpercayaan rakyat kepada pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang betul-betul menginginkan perubahan. Ternodainya pergerakan kaum tertindas dan pergerakan lainnya semakin mempersempit ruang gerak karena kawan dan lawan sangat sulit untuk dideteksi.
Pemborontakan sipil atau rakyat
Ketidakadilan yang terjadi hampir disegala sektor kehidupan telah menimbulkan reaksi yang sangat keras dari kalangan sipil dan rakyat untuk menentang dan bangkit dari ketertindasan. Perlawanan kemudian disusun untuk menggulingkan pemerintah yang dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat. Sehingga perbenturan antara birokrat semakin gencar.
Pemborontakan yang dilakukan oleh rakyat dengan aksi demonstrasi bersama dengan mahasiswa, dan organisasi gerakan sosial lainnya. Reaksi-reaksi itu kemudian dimaksudkan agar supaya pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mengubah haluannya dan kembali kepada kepentingan rakyat yang paling utama. Namun,, pergerakan itu tidak selalu berjalan dengan mulus akan tetapi sering mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut diakibatkan karena pemerintah tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat sehingga sangatlah betul apa yang dikatakan oleh Eko Prasoetyo bahwa demokrasi bukanlah untuk rakyat.
Represi Negara
Bentuk kekerasan yang lain adalah represi negara. Pemborontakan-pemborontakan yang dilakukan oleh rakyat bersama dengan organisasi pergerakan itu mendapatkan kecaman balik dari pihak birokrat karena merasa kursinya akan lengser. Walaupun secara sadar, mereka tahu bahwa berperan dengan rakyat adalah melanggar idiologi mereka sendiri yaitu pancasila yang katanya melingdungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (itu ideologinya mereka, kaum penindas). Sehingga ideologi itu perlu dipertanyakan ulang apakah pancasila itu layak untuk disebut sebagai ideologi.
Bentuk represi yang dilakukan oleh pemerintah melalui anjing-anjing penjaganya adalah dengan memukuli, menendang, menculit para aktivis dan bahkan menembaki mereka hingga tewas. Dasar mereka anjing penjaga bisanya hanya menembaki rakyatnya dan menerima suap dari para koruptor. Selain mencegal dengan sikap keras juga mematahkan gerakan-gerakan mereka dengan mengadakan pemasungan politik dan membuat aturan-aturan yang membuat kaki dan pergerakan seolah dirantai oleh besi baja yang panas.
Dengan demikian spiral kekerasan di atas kuncinya adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini kemudian menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan rakyat. Rakyat semakin miskin dan kelaparan sehingga jangan persalahkan mereka ketika mereka mencuri untuk memenuhi kehidupannya karena kemiskinan mereka bukan semata-mata diakibatkan oleh faktor kemalasan akan tetapi lapangan pekerjaan yang semakin sempit dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit karena standar cari kerja kerja sekarang adalah sekolah sementara sekolah hanya konsumsi orang-orang yang berduit.
Sementara akibat dari kemiskinan sangat berdampak negatif terhadap perkembangan suatu negara sehingga sangat butuh solusi. Adapun akibat dari kemiskinan :
Masalah Akidah
Rasululah pernah mengatakan bahwa kekafiran mendekatkan diri kepada kekufuran. Rusaknya akidah akan menimbulkan lemahnya iman dan krisis moral seperti yang dibahasakan dalam penjelasan sebelumnya. Kelemahan dari pada iman akan menimbulkan mala-petaka dan bencana dimana-mana, rusaknya tatanan masyarakat dan membawa kepada kehancuran.
Rusaknya Pemikiran
Kerusakan akidah akan berdampak pula terhadap pemikiran, kekurangan dari gizi yang sangat dibutuhkan oleh otak tidak terpenuhi yang kemudian melahirkan generasi yang kolog dan bodoh pada hal di sadari bahwa tampuk kepemimpinan kedepan berada dipundaknya. Selain dari faktor gizi faktor yang paling utama dan sangat mendasar sekali yang mempengaruhi kerja otak untuk berpikir adalah desakan kebutuhan.
Desakan kebutuhan ini yang kemudian akan menahkodai segala perjalanan pemikiran. Pemikirannya hanya terfokus pada satu tujuan saja yaitu bagaimana dia mampu untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki kehidupannya tanpa harus menyempatkan dirinya untuk memikirkan orang lain, negara dan bahkan rela menjual idiologinya untuk bertahan hidup.
Masalah Kesehatan
Kehidupan yang tidak layak akan mengakibatkan lingkungan keluarga yang tidak terawak dan akan menimbulkan penyakit yang sangat ganas. Kemampuan rakyat untuk membeli obat-obatan juga tidak terpenuhi, mereka lebih baik memilih mati dengan membawa penyakitnya dibandingkan kedokter untuk berobat karena terlalu mahal.
Masalah kesehatan ini membawa kabar burut terhadap keadaan Indonesia. Seperti yang terjadi busung lapar, anstrak, demam berdarah dan penyakit ganas lainnya. Perhatian yang ekstra terhadap kesehatan adalah merupakan suatu hal keharusan.
Dari berbagai dampak kemiskinan di atas maka tidak ada alasan untuk membiarkan Indonesia untuk tetap miskin. Mengapa harus terjadi kemiskinan di Indonesia pada hal kita terkenal dengan sumber daya alam yang sangat subur dan kaya. Haruskah rakyat yang menanggung dari keganasan zaman yang pemerintah terapkan di negara kita ?.
¬Seandainya pemerintah adil hari ini dan memprioritaskan pada peningkatan mutu kehidupan rakyat miskin baik dari segi meterial dan sumber daya manusianya. Namun,, kenyataannya Sumber daya alam hanya dinikmati oleh orang kaya dan pejabat negara saja. Kenapa mereka lebih senang menumpuk-numpuk harta dibanding membagi kepada rakyat dan tidak menopoli lapangan pekerjaan. Pemilikan sumber daya alam secara individual adalah merupakan pelanggaran kenapa ? seandainya mereka tidak serakah dan berlaku adil maka sejahteralah kita.
Dengan demikian untuk memperbaiki kehidupan ini maka butuh suatu pemerintah yang berpihak kepada rakyat, bijak, dan membenahi struktur kepemerintahan agar kehidupan rakyat yang bersahaja dapat tercapai.

mereka itu orang miskin

“Ratapan kaum tertindas adalah doa yang paling mujarab,
Karena sesungguhnya doa orang yang tertindas cepat diterima” dikutip dari buku “Kaum Mustada’fin”

Assalamu Alaikum wr.wb
Aku, terpaku melihat mereka yang sedang duduk termenung dan memandang menerawan jauh kedepan tanpa ada kepastian. Mereka kini dalam keraguan, ketakpastian, mengadu nasib dengan para penguasa. Itulah hidup sekarang ini, mereka hanya orang miskin, mereka tertindas, ada yang secara sadar melawan peradaban dan ada yang tak sadar bangkit untuk keluar dari penderitaan, mereka semua berjuang.
“Mereka Yang Berteriak Tentang Kebenaran”
Mereka terbelenggu bagai burung di dalam sangkar yang setiap harinya hanya bernyanyi tanpa kenal lelah. Benarlah, bahwa bangsa ini sedang berevolusi sehingga terjadi seleksi penguasa diantara mereka “diskriminasi” akankah teori Darwing muncul lagi setelah tumbang (orde baru bangkit lagi dengan diktatornya). Memang betul penderitaan untuk bangkit dan kemewahan untuk berpoyah-poyah. Perjuangan tak pernah berhenti, tapi kenapa harus mereka (orang tertindas) jangan-jangan hukum rimba datang lagi karena Beliau telah wafat “Nabi Muhammad SAW” dan muncul Qurays baru dengan segala bentuk kesombongan dan kemungkarannya di era modern ini. Akan tetapi, perlu disadari dan yakini bahwa Allah adalah maha bijaksana yang akan mengutus pemimpin yang menjadi Rahmatillilalamin.
“Kenapa harus mereka “orang miskin” yang tertindas apakah kebenaran dan keadilan sekarang ini adalah uang dan jabatan dengan dasar-dasar Pancasila dan undang-undangnya. Al-Qur’an mereka jadikan sebagai senjata kedamaian dan berlindung dibaliknya. “Dimanakah orang-orang itu” jangan-jangan mereka ada berkeliaran di mana-mana dengan bertopeng Al- Qur’an, demokrasi, HAM, dan keadilan. Aku takut membayangkan itu, kuingin jadi detektif saja agar kutahu orang yang bertopeng itu dan kugantikan topeng mereka dengan topeng monyet hingga semua orang menontonnya dan mengasihinya dengan memberikan uang Rp.50,-, agar mereka paham betapa berharganya uang Rp.50,- itu bagi mereka dan sakitnya orang yang tertindas. Sehingga mereka tidak akan lagi memakan uang rakyat, anak yatim dan orang miskin dan merampas harta mereka.
Pada malam hari kucoba pejamkan mataku seraya kuberdoa untuk bermimpi yang indah, namun, kuselalu terjaga dengan mimpi buruk yang aku lihat dan rasakan selama ini. Topeng kemanusiaan yang palsu itu selalu terbayang “kami tertindas” teriakan hesteris itu selalu menggema dalam kesunyian malam seiring dengan lolongan anjing malam. Kubertanya dalam hati dimana demokrasi yang diimpikan oleh nenek moyang kita akankah semuanya itu hanya akan menjadi dongen belaka atau hanya sebuah untaian kata-kata yang cantik untuk menghibur anak-anak kita yang dalam kebingungan, dalam keresahan karena matanya tak dapat terpecamkan.
Kegelapan itu berakhir setelah datangnya Rahmatallil Alamin, tapi kini kegelapan itu perlahan-lahan telah kembali dengan suasana yang berbeda. Mereka berteriak lantang “inilah dunia modern” dunia yang penuh dengan hura-hura, dunia yang penuh dengan kejahatan orang-orang yang berdasi. Mereka hidup dalam dunia materialistik dengan sistem demokrasi “katanya” namun, mereka menjadikan kapitalisme hidupnya.
Dimanakah kekuatan idiology pancasila itu yang katanya adalah landasan hidup kita yang menjadi dasar dari segala kebijakan-kebijakan yang diambil. Sekarang aku mulai percaya idiology itu sudah mati sudah tak bisa lagi bergerak maju, membangun dan menghancurkan. Sekarang aku mulai yakin idiology itu hanya tinggal tulang-tulang berserakan dengan pembukaan undang-undangnya, batang tubuhnya, dan semua bentuk-bentuk ketetapannya.
Mereka butuh tangan-tangan suci untuk merangkai kembali tulang-tulang berserakan itu, agar dapat berdiri kokoh kembali laksana tembok cina yang selalu dikagumi oleh orang.
“aku bagai hidup dalam dongen
Semuanya dalam kebohongan
Penguasa semakin menindas rakyat”
Satu kata “bangkit” dan hancurkan topeng itu dan teruslah berteriak tentang kebenaran. Banyak manusia yang sudah tak mampu lagi mengetahui esensi dirinya sendiri sehingga mendefinisikan manusia itu sudah bermain kepentingan individual di dalamnya. Oleh karena itu, kita perlu menganalisis bagaimana itu manusia dan bagaiman itu hewan.
Manusia adalah sebangsa dengan binatang dan memiliki banyak kesamaan ciri dari segi fisik namun, akan jelas perbedaannya dari segi sikap dan kecenderungan. Kaitannya dengan manusia dan binatang, Murtadha Muthahari dalam bukunya manusia dan alam semesta mengatakan bahwa segi pengetahuan dan keinginan binatang itu yaitu pengetahuannya dangkal, parsial dan khsusus pengetahuannya regional, dan pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak mampu untuk mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang. Namun, Allah adalah maha kuasa dan mengetahui segala sesuatu, dan sesungguhnya dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh manusia.
Di sisi lain, tingkat keinginan hewan juga dapat diklasifikasi dan terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Adapun hal itu seperti yang diungkapkan oleh Murthada Muthahari adalah (1) hasratnya tidak lebih dari segi material seperti makan, minum, tidur, bermain, kawin dan membuat sarang, (2) keinginannya bersifat pribadi dan individual, (3) bersifat regional, dan (4) bersifat seketika itu saja.
Sedangkan manusia memiliki yang lebih tinggi dari hewan dengan pertimbangan bahwa manusia mampu untuk bernalar dan mengetahui masa lalu dan masa yang akan datang serta manusia tidak butuh dari segi material saja akan tetapi manusia butuh akan esensi dan eksistensi kedirian atau keakuan. Dengan mengetahui perbedaan manusia dan hewan dengan segala bentuk karakternya maka dapat dibedakan antara populasi hewan dengan poluasi manusia.
Populasi Manusia dan Hewan
Populasi adalah sekolompok jenis organisme yang hidup pada daerah tertentu. Pada setiap populasi terdapat sebuah tokoh yang menjadi idola dan diagungkan oleh mereka serta memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap mereka. Mereka biasa menyebutnya sebagai pemimpin.
Pemimpin adalah pemberi petunjuk, atau orang yang terdepan dalam mengambil suatu keputusan serta penentu kebijaksanaan lainnya. Olehnya itu pemimpin adalah pembawa warna yang akan membedakan suatu garis putih dan garis hitam. Nilai dari kebijakan suatu pemimpin adalah tegantung bagaimana seorang pemimpin mampu untuk memberikan tauladan yang baik serta memberikan yang terbaik bagi yang dipimpinnya sehingga seorang pemimpin itu betul-betul menjadi bahan olahan, pengolah, dan pemberi hasil sehingga paham tentang kepemimpinan itu bukan subjek yang akan merampas segalanya dari objek yang dipimpinnya dan menjadi penindas bagi mereka.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Perbedaan antara populasi hewan dan populasi manusia terletak pada sistem yang terjadi di dalam populasi itu sendiri, sebagai contoh dalam populasi hewan maka pemimpin mereka adalah hewan yang paling kuat dan buas yang setiap harinya hanya memangsa yang lemah. Namun, tidak jarang diantara hewan-hewan kuat itu saling memangsa dan menghancurkan untuk memperebutkan mangsa.
Bagaimana dengan populasi manusia sekarang ini, adakah berbeda dengan populasi hewan ? kita akan menjawabnya dengan menggunakan pembenaran dan analisa yang sangat sederhana. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia yang mempunyai akal yang cerdas untuk mengatur dan membawa hidupnya kepada kedamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan. Mereka mengaku sebagai pemimpin-peminpin yang akan menanamkan hukum yang katanya untuk mengatur dan menerapkan keadilan untuk seluruh rakyat. Namun,, pada kenyataannya tidak sedikit dari aturan-aturan itu yang keadilan hanya untuk mereka yang berduit, dan yang berkuasa.
Adakah mereka berbeda dengan sistem binatang, ketika anggota DPR yang berkelahi dengan berdalih berkelahi untuk kepentingan rakyat. Hal itu, sangat tidak mungkin karena sesuatu yang diperuntukkan kepada rakyat yang tidak ada hubungannya dengan birokrat. Lantas kenapa mereka berkelahi tentang sesuatu itu ?. Dari hal itu maka jelaslah bahwa mereka berkelahi karena untuk kepentingan yang hanya untuk golongan tertentu dan demi memperebutkan sesuap nasi dan jabatan. Akankah kita mampu menjadi pemimpin yang dapat memberikan garis terang sehingga perbedaan itu nampak nyata. Ataukah makna pemimpin yang sesungguhnya itu akan hilang dan berganti dengan makna kepemimpinan yang dibuat oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab yaitu sosok yang senantiasa menindas..
Jumlah organisme akan semakin bertambah sesuai dengan pertambahan waktu dan tingkat kesejahteraan hidup organisme tersebut. Perkembangan organisme itu akan mengikuti pengaruh lingkungan di sekitarnya baik tingkat kesuburan tanah, makhluk yang hidup berdampingan dengannya dan pengaruh yang lainnya. Begitu halnya juga dalam masyarakat akan tumbuh sebuah tradisi-tradisi yang baru tergantung pengaruh apa yang tertanam paling kuat dalam populasi masyarakat itu tanpa ada pembedaan mana yang benar dan mana yang salah.
Ketika hal yang demikian tidak mendapat perhatian dan kesadaran masing-masing maka akan mengakibatkan tradisi lama menjadi punah diganti dengan tradisi baru yang mana perkembangan tradisi itu sudah dipengaruhi oleh tradisi barat. Sehingga kebiasaan itu sudah tertanam dan tradisi baru itu tidak lagi mejadi sesuatu yang tabuh untuk dilakukan, kemurnian dan ciri khas masyarakat lamapun telah tertimbung dan tinggallah sejarah dan dongen-dongen untuk menghibur anak-anak kita “laksana kisah dinosaurus telah tertimbung tanah”.
Olehnya dapat disimpulkan bahwa banyak manusia yang bukan manusia masa depan dalam artian bahwa manusia sekarang hanya mengandalkan ekonominya saja, jabatan, dan material akan tetapi menurut Murthada Muttahari mengatakan manusia masa depan merupakan manusia yang berbudaya, bukan manusia ekonomi, dan manusia masa depan merupakan manusia agama, akidah, dan idiologi, dan bukan manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.
Faktanya, bahwa manusia berevolusi dari sisi hewani manusia yang akan bergerak menuju kepada kemuliaan. Akan tetapi terkadang kita jumpai dan banyak terjadi dikalangan orang-orang “modern” proses dari pergerakannya seakan berbalik arah kembali kamasa kehidupan lalu. Saat yang demikian maka pertumbuhan manusia seperti kurva quadratic seperti dalam bahasa matematika. Maksudnya adalah ketika sudah mencapai suatu puncak maka akan mengalami penurunan kualitas.
Di sisi lain, kini kita hidup dalam tatanan yang palsu karena kemurnian dan keaslian jati diri budaya islam kita telah runtuh dan diganti dengan budaya baru yang biasa diistilahkan dengan budaya popularitas. Kebudayaan islam telah tertimbung menjadi sejarah saja, tak mampu mengadakan suatu perkembangan untuk mempertahankan dirinya. Kepalsuan-kepalsuan itu semakin menebal sehingga tak sanggup lagi untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. “Ya Allah Perlihatkan Kepada Kami Pemimpin Yang Akan Memberikan Titik Terang Itu”. Sehingga populasi dari tiap-tiap jenis organisme itu dapat tertata kembali sesuai dengan fitrahnya. Kesadaran dalam menjalani kehidupan ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar dalam hal pengabdian kita.

Tatanan Kapitalisme
Kaum kapitalisme semakin berkuasa rakyat semakin tertindas dan sensara karena kemiskinan itu bukanlah urusan siapa-siapa akan tetapi, urusan mereka sendiri. Kapitalisme merupakan strategi dan paham menganggap bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri sehingga ia bebas untuk memberlakukan hartanya sesuai dengan kehendak hatinya. Pada hal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dibumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat keruasakn dipermukaan bumi. (QS. Al-Qashash 77)
Awal kehadiran kapitalisme misalnya Jepan, dan Belanda yang masuk ke Indonesia ini sangat menonjolkan siikap keras dan egoisme yang berlebihan. Sejarah dan moyang kita telah bercerita kepada anak cucunya bahwa mereka tidak memiliki kepedulian terhadap anak-anak, wanita, orang-orang lemah, dan kepada fakir miskin. Mereka memaksa anak-anak, wanita dan orang miskin bekerja secara paksa di pabrik-pabrik dengan upah yang sangat kecil agar tidak digilas oleh kekejaman hidup dan kebrutalan orang-orang kuat yang sudah merasa hidup dalam dunia yang modern, orang-orang yang berhati batu , bahkan lebih keras.
Suara tangis dari orang-orang miskin yang meminta belas kasihan, yang meminta keadilan, telah berubah menjadi teriakan perlawanan menentang kapitalisme tetapi kenapa hanya orang miskin. Akankah seorang bapak hari ini takut untuk bersuara atas nama anaknya (rakyat). Mengapa seorang bapak melepaskan tanggung jawabnya hanya karena takut miskin, maka satu kata buat bapakku yaitu ‘berhentilah engkau jadi bapakku’. Wahai bapakku dengarkanlah :
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada meraka.(QS. Al-An’am 151)
Dalam ayat yang lain :
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi irzki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesuingguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar.(QS. Al-Isra’ 31).
Sekarang aku mengerti bahwa kemiskinan dan ketertindasannya mereka bukan semata-mata karena mereka malas akan tetapi yang menjadi penyebab utama disini adalah keadilah yang tidak diberikan kepada mereka. Di era yang sekarang ini para orang miskin kini potensiya untuk bekerja telah ditutup, kenapa tidak lahan kosong yang mau digarap telah kurang, alat dan bahan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak ada, mereka hanya jadi buruh dengan upah yang sangat rendah, pendidikan yang tinggi tertutup untuk mereka, kebiajkan-kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Kasihan orang miskin.
Pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita lakukan dan dapatkan sekarang ini adalah semata-mata dari ridho Allah ?. Namun,, pada kenyataannya kita menghabiskan semua harta dan sisa-sisa umur kita untuk dinikmati sendiri. Allah tidak pernah membutuhkan sesuatu dari manusia yang kerdil itu akan tetapi manusia yang selalu butuh akan Allah SWT dan alangkah tak bermoralnya dan ruginya kita jika semua nikmat yang diberikan oleh Allah kita tidak dipergunakan untuk kepentingan kita dan kemaslahatan ummat.
Islam tidak setuju terhadap anggapan terhadap orang kaya bahwa mereka adalah pemilik absolut terhadap harta kekayaannya. Mereka adalah pemilik pertama dan terakhir. Dalam artian mereka bebas untuk memberlakukan hartanya. Sedangkan dalam islam mempunyai hal-hal yang istimewa yang tidak dimiliki oleh yang lain ; pertama, sejak 14 abad yang lalu islam sudah mengakui hak-hak orang miskin dan memberikan jaminan hak kepada orang yang kalah dalam peperangan. Kedua, bahwa hak-hak yang ditentukan dan undang-undang tidak sekedar dibuat akan tetapi untuk mengatur kehidupan manusia sepanjang masa (otentisitas). Ketiga, aturan dan undang-undang yang ditetapkan tidak ada campur tangan manusia dengan segala sifat hawa nafsunya yang bisa memberi dampak yang sangat jelek terhadap perkembangan generasi atau bersifat universal dan sempurna. Ketiga hal tersebut, mampu untuk dipertanggungjawbkan dengan analisis yang rasional.
Dengan jaminan tersebut maka, tidak ada alasan untuk memakai kapitalisme sebagai pembenaran kepada orang-orang kuat untuk menindas yang lemah dan tidak ingin membantu mereka. Walaupun demikian merampas harta kaum borjuis juga merupakan sesuatu yang salah karena pada kenyataanya tidak sedikit orang yang kaya dan kuat yang berbaik hati terhadap kaum lemah. Islam juga mengakui terntang kepemilikan pribadi yang kemudian ini dijadikan sebagai prinsip sistem ekonomi.
Sebaik-baik harta yang baik adalah harta yang di tangan orang yang baik.
Dengan demikian diri dan pendidikan hati nurani menjadi prioritas utama dalam pandangan islam dan tatanan negara yang diharapkan untuk mendukung.
Mampukah seorang makhluk akan memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh Pemilik segala sesuatu? Apakah pemilik segala kepuasan mengharapkan lagi kepuasan? Ataukah pemilik semua kakuasaan masih mengharapkan kekuasaan? Dan akankah pemilik semua amal ibadah masih mengharapkan ibadah?. Kenapa masih banyak makhluk yang merasa hebat, hidup di dunia yang hanya tempat persinggahan dan pinjaman dari Allah dengan segala kesombongan dan keangkuhan mereka.
“pernahkah……”
Dan apabila diikatakan kepada mereka :’ Nafkahkanlah sebahagian dari rizki yang diberikan Allah kepadamu, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang mukmin : apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki maka tentulah Dia akan memberi makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata. (QS. Yasin 47)
Dan Musa berkata : sekiranya kalian dan seluruh yang ada di muka bumi bersikap kafir maka sesungguhnya Allah tetaplah Yang Maha Kaya Lagi Maha Terpuji (QS. Al-Hajj : 64)
Makassar, 20 Januari 2005

siapa itu mahasiswa

“Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum,
sebelum ia berusaha untuk merubahnya sendiri”.
Assalamu alaikum wr.wb
Defenisi Mahasiswa secara konvensional adalah orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan pada sebuah lembaga perguruan tinggi dan terdaftar dalam administrasi perguruan tinggi. Tetapi ketika kita tinjau dari sudut pandang yang lebih kompleks maka mahasiswa tidaklah sesederhana itu. Makna mahasiswa yang lain dapat kita tinjau dari fungsi dan peranannya khususnya di Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.
Perubahan di koordinat manapun di permukaan bumi secara umum tak lepas dari peran mahasiswa. Sejarah telah banyak bercerita tentang cerita-cerita heroik mahasiswa. Beberapa babakan perubahan bangsa ini tak lepas dari peran aktif mahasiswa. Kita tak kan mungkin lupa bagaimana mahasiswa dan pemuda berjuang bersama sehingga lahirlah Bangsa Indonesia yang merdeka yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan muncullah Soekarno sebagai pemimpin pertama Indonesia yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup. Tapi karena adanya ketimpangan yang oleh masyarakat dan mahasiswa tidak sesuai dengan keinginan rakyat maka kepemimpinan Soekarno pun berakhir yang sekaligus menandai berakhirnya orde lama.
Babakan Indonesia pun kembali berlanjut di bawah kepemimpinan Soeharto yang lebih kita kenal dengan Orde Baru yang bertahan hingga 32 tahun. Dalam orde baru inilah kembali muncul riak dan pergerakan mahasiswa meski dalam orde ini sangat menganut faham militerisme yang tak ingin melihat adanya protes yang lebih muncul sebagai sebuah bentuk pemerintahan diktator dari seorang Soeharto sebagai presiden. Dan akhirnya pada bulan Mei 1998, mahasiswa kembali dapat menunjukkan powernya dengan menutup babak orde baru dengan senjata pamungkas yang lebih dikenal dengan reformasi. Dari sinilah Indonesia mengalami proses pembelajaran bagaimana bentuk dan inplementasi sebuah kehidupan demokrasi.
Action mahasiswa tak berhenti sampai disini. Beberapa perubahan terus disuarakan terbukti dengan semakin tumbuh suburnya demokrasi dan sedapat mungkin tak ada ruang bagi diktator. Selama proses perjuangan untuk tegaknya nilai-nilai keadilan dan berdenyutnya api perubahan, tak sedikit pengorbanan yang harus diberikan termasuk korban jiwa yang menyertai beberapa perubahan di negeri ini. Sebut saja korban Semanggi yang gugur dalam memperjuangkan reformasi.
Penerjemahan dari gerakan reformasi sampai hari ini belum terealisasi dengan baik bahkan lebih banyak menimbulkan komflik baru yang semakin memperkeruh masalah. Begitu besarnya peran mahasiswa sehingga beberapa titel dan gelar pun melekat pada salah satu lapisan elit bangsa ini. Beberapa gelar yang tak asing misalnya sosial control, agent of change, moral force merupakan bukti nyata betapa kalangan ini begitu diagung-agungkan oleh masyarakat, sehingga sangat wajar ketika harapan masyarakat masih tetap bertumpu kepada mahasiswa.
Namun,, ketika kita menilik kondisi mahasiswa hari ini, akan muncul sikap pesimistis dari masyarakat yang notabene adalah kalangan yang menjadi objek pembelaan mahasiswa. Distorsi telah terjadi, pergeseran paradigma telah merealita sehingga kebangaan sebagai mahasiswa harus dipertanyakan.
Lalu mahasiswa mana yang kita maksud?. Tak bisa dipungkiri bahwa pelopor dari pergerakan mahasiswa hari ini tak bisa dilepaskan dari lembaga kemahasiswaan mulai dari tingkat universitas sampai pada tingkat yang paling bawah yaitu jurusan dan lembaga organisasi ekstra. Tak jarang kita jumpai bahkan teramat lazim di kalangan mahasiswa yang tergolong ke dalam mahasiswa akademisi tulen dan mahasiswa salon. Mahasiswa akademisi tulen sangat menganut pengertian mahasiswa secara konvensional dimana mereka hadir di kampus hanya untuk belajar dan kuliah dan melepaskan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa sejati sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Sementara mahasiswa salon hadir sebagai sosok mahasiswa yang bangga akan statusnya sebagai mahasiswa dalam bentuk yang lain dengan tanpa malu menggunakan titel kemahasiswaan sebagai ajang mencari popularitas dengan bergaya modis, trendy, funky dan menjadi penikmat modernitas. Lalu apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa semacam ini? yang tak ada waktu untuk masyarakat melainkan hanya memikirkan diri bagaimana bisa menyelesaikan study secepatnya dengan nilai serba A atau yang setiap saat hanya bernaung di ruang kuliah dengan aksesoris yang terkadang terlalu berat untuk mereka bawa atau karena takut kulitnya akan menjadi gelap untuk hanya sekedar membela masyarakat.
Lembaga kemahasiswaan harus mampu hadir dan mewujud sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa sejati yang tak terkontaminasi oleh budaya salon dan tak melupakan perannya kepada masyarakat tetapi mampu menyelesaikan study dengan nilai yang memuaskan. Gerakan-gerakan yang dilancarkan telah mengalami kebuntuan, Ini semua diakibabkan karena dalam kubuh mahasiswa tidak lagi menjalin suatu persaudaraan karena kesamaan ideologi akan tetapi mereka lebih cenderung menjalin sebuah persaudaraan karena kedekatan hubungan. Hal ini juga akan menimbulkan perpecahan dalam warga itu sendiri karena mereka lebih senang berjalan sendiri tanpa sadar bahwa mereka berada dalam sebuah komunitas yang tidak terlepas pada dirinya.
Menurut Eko Prasoetyo dalam bukunya islam kiri mengatakan bahwa Gerakan oposisi tidak memiliki media yang kritis dan halangan banyak sekali serta mereka yang ada sudah digencet oleh mekanisme pasar. Gerakan mahasiswa mengalami nasib yang sama, bukan melalui pemasungan politik, tetapi dengan menjalankan komersialisasi pendidikan. Dengan menarik ongkos yang mahal, memperdek waktu kuliah, adalah taktik untuk melumpuhkan pergerakan mahasiswa. Krisis kader, budaya intelektual, kedisiplinan, telah berangsur-angsur membuat gerakan mahasiswa ditimpa penyakit lama; yaitu perpecahan devide at impera.
Ini terbukti ketika sebagian warga ingin mengadakan sebuah perubahan dalam hal perubahan sistem mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah maka selalu saja ada yang pro dan ada yang kontra ini menandakan bahwa terjadi suatu diskriminasi pada pihak-pihak tertentu dengan kata lain bahwa ada sebagian warga yang merasa tertindas dan ada yang merasa diuntungkan dengan sistem yang ada di Indonesia.
Dengan melihat realitas hari ini maka kita semua pasti rindu akan sebuah perubahan yang akan mengantarkan kita kepada sistem yang lebih baik. Perubahan-perubahan itu haruslah dimulai dari pada perubahan pola pikir tentang pemahaman mahasiswa sejati itu (revolusi pemikiran). Karena manusia dalam melakukan aktivitas itu mengikuti alam pikirannya olehnya dalam pemikiran yang sehat maka akan menghasilkan sesuatu yang baik begitupun sebaliknya. Sehingga tidak jarang kita melihat orang-orang yang memiliki pendidikan yang tinggi namun, perbuatannya tidak sesuai dengan gelarnya sebagai intelek yang tercerahkan. Pemikiran kita jangan sampai terkontaminasi dengan lingkungan yang ada sehingga alam pikiran kita hanya diisi dengan material saja yang akan menjerumuskan manusia kedalam sistem kapitalisme.
Harapan masa depan pun harus kita punyai, kata orang bijak, orang yang sudah tidak punya harapan itu ibarat sudah mati sebelum mati. Seperti itupun, kita harus berani bermimpi dan berharap, semoga masa depan yang kita akan tapaki lebih baik dari hari kemarin dan hari ini. Untuk itu kitapun harus berani berikhtiar mencari format untuk kemudian bagaimana membumikan mimpi-mimpi kita itu.
Olehnya itu, menyikapi semua masalah-masalah itu maka jawabannya adalah bagaimana kita meningkatkan kader-kader yang mampu memberikan warna dan perubahan-perubahan baik dalam lingkup universitas dan bagi bangsa pada umumnya. Peningkatan kader-kader ini bertujuan untuk melahirkan suatu generasi yang baik, karena realita hari ini generasi yang betul-betul ingin memperjuangkan dan membawa bangsa ini ke depan tidaklah mudah kita dapatkan. Serta menyatukan persepsi kita untuk mengadakan revolusi sistem baik intern individu maupun masyarakat sosial.
Melihat dari sejarah perjuangan mahasiswa di atas mulai zaman ke zaman haruslah kita ini generasi muda untuk merasa malu dengan segala kemunafikan kita sekarang dalam menanggapi segala fenomena sosial yang sesungguhnya telah memperburuk kehidupan bangsa. Perjuangan yang dilakukan bukanlah mengejar sebuah kemenangan akan tetapi kebutuhan kita sekarang mengembangkan rasa peka terhadap kehidupan sosial. Penindasan telah terjadi hampir di dua pertiga dunia tak terkecuali Indonesia. Penggusuran terjadi dimana-mana, pemerasan harta orang miskin dengan dikorupsi, eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan suatu golongan.

humaniora

Humaniora
Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam artian membuat mausia lebih berbudaya. Sebetulnya itulah tujuan setiap pengajaran dan pendidikan. Oleh karena pengajaran sebagai tugas khas sekolah merupakan salah satu bagian dari pendidikan, maka kita terlebih dahulu tahu apa itu pendidikan
Dalam bukunya S.J. Drost mengemukakan bahwa kata latin untuk mendidik adalah educare, yang berasal dari e-ducare yang berarti menarit keluar dari. Jadi educare dapat diartikan usaha pemuliaan atau pembentukan manusia. Upaya tersebut hanya akan berhasil jika orang mempunyai ide yang ingin diwujudkan. Ide dapat disebut citra manusia. Apa yang menentukan citra-citra pendidikan dan pembentukan manusia?
Sebuah sekolah baru menjadi lembaga pendidikan jika mempunyai pandangan hidup tertentu. Sekolah netral belaka mustahil mendidik karena tidak mempunyai ide yang akan diejawantahkan. Hasil sekolah yang semacam itu hanya robot-robot, bukan manusia. Maka persekolahan kita diberi dasar yang berlaku umum, yaitu ide manusia seperti yang dirumuskan dalam GBHN. Seandainya sekolah-sekolah itu berhasil mewujudkan ide manusia itu, maka sekolah kita sungguh-sungguh membuat manusia lebih manusiawi. Selain itu, sekolah swasta masih akan memberikan pendidikan menurut ide manusia sebagai konsekuensi dari pandangan hidup mereka. Usaha ini lebih memperkuat manusia lebih manusiawi.
Sekarang timbul pertanyaan apakah sistem yang dipakai pada sekolah sekarang ini merupakan alat yang mampu untuk mencapai tujuan di atas?. mungkin secara spontan kita akan menjawab bahwa tidak, namun, jawaban yang semacam itu tidak kita butuhkan tetapi bagaimana kita dapat memberikan solusi yang cantik dalam membantu penyelesaiannya.
Mengetahui bagian dari pembentukan tetapi bukanlah keseluruhan pembentukan, akan tetapi bagaimana kita mampu untuk bernalar, dan memutasi, keterbukaan kepada ilmu dan kesenian. Olehnya itu, pendidikan diharapakan mampu untuk mengarahkan anak didik untuk mampu mengetahui ilmu tanpa harus menghafal akan tetapi dengan kesadaran dan hasil nalar. Karena ilmu yang didapatkan dengan menghafal dan memaksakannya akan mudah untuk hilang dan kita menjadi seperti orang tak pernah berpendidikan atau terbentuk tanpa pengetahuan. Demikian juga pengetahuan yang ditimbungkan masuk ke dalam benak belum berarti pemiliknya seorang intelektual.
Ciri-ciri orang yang berintelek yang dikemukakan oleh Drost adalah :
1. orang yang terbuka pada seluruh kenyataan
2. mampu dan sanggup bergaul dengan golongan sosial manapun juga.
3. orang bebas tetapi hormat kepada rakyat jelata.
4. orang tidak merasa rendah diri karena telah menjadi pribadi yang dewasa
5. ia tidak fanatik
6. tidak mengejar pengukuhan dari orang lain
7. berani berpendirian tetapi tidak takut mengakui kesalahan jika keliru
8. seorang intelektual berhasil menyatu ragakan antara pendidikan dan kehidupannya.
Tujuan mata ajaran di SMU ialah membentuk manusia muda menjadi dewasa baik moral maupun intelektual. olehnya itu, mampu dan sanggup memasuki masyarakat atau menempuh salah satu disiplin ilmuh secara mandiri. Semua ajaran SMU bersifat propadeutis, artinya mendidik dan membentuk. Sekali lagi perlu diketahui bahwa kematangan itu bukan pengetahuan luas tentang mata-mata ajaran, ini berarti bahwa hasil pengajaran dan pendidikan humaniora adalah orang yang bernalar kritis dan mampu mengungkapkan diri demikian rupa hingga terjalin komunikasi yang bermutu.
Tujuan pengajaran sains adalah membentuk kematangan umum, menurut Gatra Saina bukan pengetahuan melainkan pengertian yang menimbulkan feeling, dan rasa selaras dengan dunia pendidikan kita. Selama para pelajar masih menganggap pelajaran sains sebagai segunung fakta yang dilafalkan, sehingga kelak dapat dipakai menjadi ahli teknik atau dokter, mereka akan menbenci sains sebagai suatu paksaan yang tidak dapat dielakkan. Cinta tidak akan mekar terhadap sains atau ilmu pengetahuan lainnya. Sehingga dalam diri siswa muncul pertanyaan ”siapa sih yang sesinting belajar sains ?”
Dapat dikatakan bahwa seorang saintis bergerak di dalam dunia rasional. Pendekatan tidak terletak pada pendekatan emosional, estesis atau etis, melainkan pada bidang metode ukuran dan hitungan yang bersifat rasional.