pelacur juga manusia

Obsesi ini sebenarnya sudah lama tertanam dalam benakku, kalau tidak salah enam bulan yang lalu. Terkadang teman-teman mentertawakanku karena memiliki selera terlalu rendah. Namun, aku membungkam tertawaan mereka dengan kalimat seperti ini, “Kalian jangan menganggap pelacur adalah murahan dan rendahan serta mentertawakannya. Tapi, tertawakanlah pemimpin kalian yang telah menggadaikan harga diri dan kehormatan bangsa ini. Dan tertawakanlah diri kalian karena kalian termasuk salah satu yang digadaikan dan dilacurkan.” Kata-kata ini seperti bom atom yang aku ledakkan di telinga mereka. Dan hasilnya, mereka langsung terdiam meresapi dirinya yang perlahan-lahan hancur berkeping-keping.
Setiap kali selesai mengejekku, maka aku melampiaskan kekesalanku di pantai. Di tempat itulah, aku berdiskusi dengan gelombang laut yang selalu pasang surut. Sesekali aku berteriak seperti orang gila, dan hasilnya ikan-ikan yang mendekat ke bibir pantai langsung gemetaran dan lompat menyelematkan diri. Ombak yang menggulung mencumbui batu karang. Melumat bibir pantai. Sesekali bergemuruh. Air lautpun terpercik menyentuh bibirku. Kurasakan sangat asing. “Inilah garam kehidupan.” Pikirku.
Tiba-tiba saja ada bayangan yang melintasi kepalaku. Aku menoleh ke belakang. Rupanya Syam sedang mematung. Dia tersenyum dan berkata, “Aku masih penasaran dengan Obsesimu itu?”
Namun dia semakin penasaran ketika rasa penasarannya aku jawab, ”Harus,... aku harus pacaran dengan pelacur, tidak boleh tidak. Titik.”
Dia hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Lalu mendudukkan pantatnya di sampingku. “Sebenarnya tidak susah mendapatkan markas para pelacur itu.” Katanya sambil memperlihatkan sederatan nama-nama cafe dan diskotik yang terkenal di daerah ini.
“Jadi kamu mau membantu aku?”
Dia tersenyum. Pertanda positif.
* * *
Satu persatu diskotik dan cafe-cafe didatangi. Syam mengendarai sebuah motor. Setiap kali motor itu berhenti di depan diskotik atau cafe, maka senyum hangat dari satpam dan beberapa tukang pukul mengembang, lalu mempersilahkan masuk. Sambutan petugas diskotik memperlihatkan sebuah interaksi sosial yang sangat beretika. Bahkan Syam jarang menemukan tata cara penyambutan yang sangat menghormati tamunya. Yaaah, hanya di tempat-tempat pelacuran itu.
Begitu kepala Syam menyembul di pintu diskotik, maka suara mesra dari perempuan-perempuan cantik menggelitik telinga. Pakaian yang sempit. Belahan dadanya begitu mencuak. Bersinar memperlihatkan daya tariknya. Pinggulnya melenggok, ibarat gendang yang siap ditabuh. Cara bicara pelacur-pelacur itu begitu merangsang dan belaiannya membuat semua bulu-bulu halus berdiri dan semua yang bisa berdiri. Rudal-rudal penyalur sperma kehidupan pun langsung berontak.
Pada diskotik yang pertama dan kedua yang didatangi tidak membuahkan hasil. Begitupun diskotik-diskotik setelahnya. Pelacur-pelacur itu selalu saja menolak, “Ah, palingan orang yang mencari pelacur sebagai pacarnya adalah orang gila yang akan memuaskan birahinya secara gratis.”
Sampai akhirnya Syam kembali dengan tangan hampa. Menemuiku. Bertanya.
“Kamu tak usah tahu alasannya. Cukuplah kamu memahami aku, kalau aku ini bukan laki-laki berperut buncit seperti yang dibahasakan oleh pelacur-pelacur itu. Dan kalau kamu bertemu lagi dengan pelacur-pelacur itu, maka sampaikan padanya kalau aturan main dalam pacaran biar dia yang tentukan.”
* * *
Syam kembali berkelana di cafe dan diskotik. Dan dia tidak gagal lagi. Beberapa nama dan foto yang bersedia menjadi kekasihku, dipersembahkan. Sejenak aku berpikir. Lalu tersenyum dan berkata, “Di antara pelacur-pelacur itu mana yang paling cerdas, cantik dan paling menyenangkan?”
Syam cengengesan aku tanyai, lalu ia memberikan secarik foto ukuran 3R, “Kalau aku yang disuruh memilih maka aku akan memilih ini. Dia itu,... Waow, sungguh luar biasa, dijamin deh.”
Saran diterima. Diaturlah pertemuan. Di sebuah cafe, pukul 12.00, siang. Yaah, pada waktu yang tepat, wanita yang ditunggu nongol dengan gayanya yang sangat kontradiksi dengan bayangan yang aku mainkan di kepalaku sebelum berangkat dari rumah. Persangkaanku, wanita itu akan datang dengan pakaian yang seksi dengan baju yang jangkis sampai bulu-bulu halus di ketiaknya kelihatan. Tapi, ternyata aku salah. Aku tertipu. Dan aku hampir saja tidak percaya kalau gadis itulah yang dimaksud oleh Syam. Soalnya perempuan itu memakai pakaian yang tertutup dan kelihatan sangat terhormat.
Kata-kata yang sedikit eksotis dan seksi yang aku siapkan menjadi tak berguna. Aku dibuat grogi. Dia pun kelihatan tidak nyaman. Syam sedikit bermanufer menjelaskan dan menerangkan biodataku. Lenggok kiri, lenggok kanan. Dan tiba-tiba biji pelernya terantuk di sudut meja. Dia meraung-raung memegangi bagian itu. Pelacur itu tertawa geli. Kalau aku sih, tak usah diragukan lagi, tawaku kini membahana membuat suara keras lainnya terdiam.
Perkenalan awal dengan sang pelacur legendaris di cafe menjadi sebuah moment yang tak terlupakan. Bisa dibilang pertemuan antara Romeo and Julie. Perlahan aku merasa obsesi yang entah darimana munculnya mulai tercapai.
* * *
Betul ucapan Syam. Pelacur pilihannya begitu menggairahkan dan memberikan kepuasan yang sungguh luar biasa. Dia betul-betul sangat luar biasa. Dia selalu mempersembahkan yang terbaik buatku. Hubungan kami berjalan dengan mulus. Kasih mengasihi adalah warna yang menghiasi hari-hari kami. Dia sangat menghormatiku. Dia tidak lagi mencari pelanggang baru. Pelacurku tak perlu lagi berdo’a pada setiap kali dia berhias diri di depan cermin. Do’a agar supaya setiap malamnya dia laku keras. Seperti dalam puisi Atja Razak Thaha, ’do’a seorang pelacur’.
Pernah kami di pantai. Aku membeli air minum di sebuah toko. Membiarkan pelacurku sendirian di tanggul. Begitu aku kembali, kudapati seorang laki-laki sedang mendekatinya. Sangat jelas kata pemuda itu, ”Hai pelacur! Kita jalan yuk!”. Pelacurku marah. Menangis. Ada kekuatan merasuki diriku. Aku kesurupan dan langsung menghajar pemuda itu sampai KO. Peristiwa itu, menyadarkan kalau konflik antara Habil dan Qabil yang dipicu oleh persaingan dan perebutan cinta sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah hal yang sangat wajar. Hubungan antara laki-laki dan perempuan menyimpan suatu kekuatan terpendam yang sewaktu-waktu bisa memicu dan memacu tindakan-tindakan besar yang tak terduga. Dan peristiwa itu ternyata menguntungkan. Pelacurku semakin sayang dan cinta padaku. Berbagai metode dan gaya yang dipakai untuk mempersembahkan kepuasan padaku. Sungguh pelacurku sangat luar biasa,.... .
* * *
Hari ini aku sedang menunggunya. Tiga buah buku di hadapanku tergeletak. Perasaanku tidak karuan. Tidak ada gairah untuk berbuat sesuatu. Aku tahu bahwa perasaan ini adalah rekayasa iblis. Namun, perasaan itu meluluhlantakkan keimananku. Menggorogoti tubuhku. Mencabik-cabik kulitku. Kesimpulannya, jiwa dan ragaku dipelintir seperti cucian yang diperas, kemudian diputar sekencang-kencangnya seperti baling-baling helikopter dan dihempaskan ke bumi. BRUAAK! Jiwa dan ragaku hancur berkeping-keping. Nafsu sungguh teramat hebat.
Akhirnya sore pun menggelayuti bumi. Kedatangan pelacurku yang manis dan cantik adalah jawaban atas keresahan yang aku alami sepanjang hari ini. Keresahan akan hasrat yang sudah dipengaruhi oleh iblis. Begitu pelacurku menyembul di tangga, senyumnya langsung merekah. Senyum itu menaburkan kembang tujuh rupa. Dia menyapa, “Sudah lama nunggunya kak? Keadaannya baik-baik saja kan?” Suaranya yang merdu, dan genit menjadi mantra-mantra yang memabukkan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Kembali pelacurku berbicara, “Wahai kekasihku yang tampan, mengkhayalkah engkau?”
Penuturan pelacurku begitu lembut dan mengalir kasih sayang yang luar biasa. Kekesalan yang aku rasakan atas keterlambatannya langsung hilang. Lalu aku berucap, “Wahai kekasihku, hari ini engkau sedikit terlambat. Tapi, tidak apalah yang penting sekarang engkau sudah ada di depanku dengan penampilan yang aduhai,...”Aku tersenyum manis.
Proses komunikasi antara komunikan dengan komunikator sangat komunikatif. Permainan kata-kata yang aku mainkan mengalir dengan indah dan penuh dengan mantra yang sakti mandraguna seperti yang dilantunkan oleh ‘Arya Dwi Pangga’ dalam kisah ‘Tutur Tinular’. Kata demi kata terkait-kait satu sama lain. Suara tawa dan senyum mengembang adalah warna yang menghiasi pertemuan ini.
“Ahhh, kanda bisa saja sih,… jangan dong ah,.. hihihi.”
“Kamu kan kekasihku. Masa’ nggak boleh sih.”
Tanpa terasa. Malam perlahan menenggelamkan bumi dalam kegelapan. Iblis dan sejenisnya perlahan beraksi, menggoda dan merasuki makhluk Tuhan. Terkecuali aku, karena pagi-pagi sekali iblis telah menggoda dan menjelma dalam diriku. Tadi pagi, aku resah karena ingin sekali bertemu dengan kekasihku, bercumbu, dan bermesraan seperti sekarang yang berlangsung.
Dalam sekejap, aku ibarat singa dan pelacurku ibarat ayam yang sangat kenyal dan nikmat. Komunikasi berlanjut tanpa kata lagi. Bahasa tubuh yang mendominasi. Lama komunikasi tubuh berlangsung dan akhirnya kami bosan. Berhenti. Tak berkutik.
Di puncak kenikmatan itu aku berbisik kepada pelacurku, “Maukah engkau menjadi istriku?”
“Kenapa harus aku? Masih banyak perempuan yang siap dinikahi kapan saja.”
“Aku tidak percaya perempuan-perempuan itu masih perawan. Aku tidak bisa yakin mereka akan seramah kau, sebaik kau, sepenyayang kau, dan memberikan kepuasan yang sungguh luar biasa seperti kau saat ini.” jawabku
Pelacurku tersenyum dan mulutnya mengunyah renyah telingaku, “Aku siap menjadi pelacurmu yang sesungguhnya.”
* * *

0 komentar:

Posting Komentar