Monalisa 1

___Pertemuan 1___


”Cogito, ergo sum” __Saya berpikir, maka saya ada.
Pernyataan Rene Descartes teringat lagi. Sebuah pernya-taan yang menekankan perlunya pemikiran rasional dalam kebudayaan sebagai salah satu bukti eksistensi manusia. Pernyataan itu seperti kembang api yang meledak dalam kepalaku. Menghiasi anganku. Menusuk-nusuk dimensi pikir-ku. Lalu aku memalingkan wajah, menatap jauh. Menembus kaca jendela kamar yang tampak buram karena tak pernah tersentuh oleh kain halus dan jemari lentik dari tangan mulus. Di balik kaca itu, tampak langit penuh bintang yang berge-mintang menghiasi cakrawala. Dan tiba-tiba saja kata-kata indah merasuki jiwaku. Bermain-main di kepalaku. Mengusik ketenangan di malam ini.
Kata-kata yang indah itu seperti magnet yang menarik dan menuntun aku pada sebuah kutub tertentu. Yah,.. menuntunku, sampai akhirnya aku duduk terpaku di sebuah kursi tua yang berpasangkan meja usang dengan sebuah komputer di atasnya. Buku ’The Turning Point (science, society, and Rising Culture)’ __’Titik Balik Peradaban (sains, Masyarakat, dan kebangkitan kebudayaan)__ karya Frijof Capra yang tergenggam di tangan perlahan aku letakkan di meja. Tombol power komputer aku tekan dan beberapa saat kemudian muncul layar biru yang bertuliskan windows is loading. Di samping komputer itu, aku meraih sebatang rokok __Clas Mild__ yang terselip di antara kabel-kabel yang menjalar saling tumpang tindih. Lalu membakarnya. Mengisapnya. Asap rokok pun mengepul, meliuk-liuk, menyusuri setiap ruang-ruang kosong di dalam kamarku, dan memukul mundur nyamuk-nyamuk yang berkeliaran dari tadi. Asap rokok perlahan buyar dan menghilang, tapi aku percaya kalau asap rokok tersebut sedang berkumpul pada suatu tempat untuk melakukan proses pemanasan global.
Sementara itu, komputer sudah selesai loading. Layar biru komputer sudah terganti oleh gambarku yang bergaya ala Syahruk Khan yang sedang menyibakkan rambutnya ketika sedang menggoda Anjeli dalam film kuch-kuch hotahae.
Aku menekan jendela Windows. Lalu muncul sederetan menu yang siap untuk dipilih. Microsotf office word menjadi pilihanku, dan layar putih pun terpampang, siap untuk ditulisi. Aku pindahkan kata-kata indah yang bermain-main di kepala pada lembar Microsotf office word membentuk satu kalimat, kemudian berubah menjadi sebuah paragraf yang di dalamnya terdapat satu kalimat utama dan beberapa kalimat pelengkap. Paragraf demi paragraf terbentuk menjadi sebuah rangkaian tulisan yang menjelaskan sesuatu hal yang sangat luar biasa. Kemudian aku print lalu memasukkan pada sebuah amplop yang berukuran besar, dan terakhir aku merebahkan tubuh di atas kasur yang sudah tak empuk lagi.
* * *
Keesokan harinya, aku menemui seorang editor yang sekaligus sebagai penulis yang sudah teruji kehebatannya. Aku mendapatinya sedang duduk di terasnya sambil membo-lak-balik surat kabar dengan ditemani secangkir kopi dan satu bungkus rokok. Sambutan yang sangat ramah dan hangat aku terima.
“Gimana kabarnya hari ini?”sapanya.
“Baik.” Jawabku.
Setelah acara saling sapa berlangsung, aku menyerahkan amplop yang di dalamnya terdapat beberapa lembar tulisan yang semalam. Sang Editor menerima amplop dengan senyum yang sangat khas. Senyum itu mengingatkan aku pada lukisan Ernesto ‘Che’ Guevara yang terpajang indah di kamarku. Kemudian Sang Editor mengisap rokoknya dan mulai membaca tulisan yang aku serahkan padanya;…

Suatu pagi yang cerah. Aku baru saja terjaga dari tidur pan-jang, semalam. Tiba-tiba aku mendapati masyarakat miskin kota Makassar yang mangkal di sudut-sudut istana yang me-gah sedang merajuk sajak-sajak indah. Sajak-sajak itu begitu tenang mengalir. Menyelinap ke dalam relung hati yang ter-dalam. Angin sepoi yang bertiup tak tentu arahnya membawa bait-bait sajak itu berkelana, dan akhirnya berdenting dengan jelas dalam ruang-ruang dimensi yang mulai terlupakan.
Sajak-sajak itu terus mengalir dengan deraian air mata,.... terus, dan terus,..... aku terpaku mendengar sajak-sajak itu. Yaah, dengarkanlah. Biarkanlah membahana dalam telingamu. Dengarkanlah,...

Kupijakkan tumitku di bumi persada ini. Kukerahkan segenap kekuatan untuk menahan beban tubuhmu yang terlalu berat bagiku. Namun, kau terus menindihku, menderaku, meneng-gelamkan aku ke dalam perut bumi sedalam-dalamnya di tempat yang terdalam. Sampai akhirnya lahar panas kembali memuntahkanku lewat gempa yang kau sebut Vulkanik.

Kau jadikan aku sebagai persembahan pada iblis-iblis penunggu gunung. Kau korbankan aku, sebagai tumbal agar kau semakin kuat, kebal, bebal, dan abadi.

Kau copot jantungku. Kau sate. Kau melemparkan pada kawah yang mengepul asap putih di atasnya. “Sakit,..!” jeritku. Kamu tak bergeming. Senyum sinis. Senyum puas. Senyum keserakahan. Di setiap senyummu adalah api neraka yang akan melalap habis apa saja. Panas kawah pun takut dengan hawa panas pada senyummu. “Kamu brengsek,.....!” Teriakku. Membahana. Mengusik raja hutan yang tertidur.

Rupanya kau tak ingin mendengar teriakanku. Kau robek mulutku. Kau cincang. Kau iris-iris sampai aku tak mampu berkata ini a, ini b. Aku terbungkam. Kau jepit mulutku. Kau gantung. Kau masak. Ingin rasanya berteriak. Namun, aku sudah tak punya mulut lagi. Hanya air mata yang tumpah ruah. Berharap dapat mendinginkan kawah panas.

Kau cungkil mataku. Kau pisahkan dengan retinanya. Kau pelototi. Besi panas kau pakai untuk melobangi mataku. Hitam putih mataku menyatu. Aku menangis darah, “yah,..! Aku menangis! Menangis darah.” Telingaku sendiri yang mende-ngarnya dan menjadi saksi.

Kau potong telingaku. Kau kuliti. Kau kupas hingga yang tampak tinggal tulang-tulang rawannya saja. Kau lemparkan telingaku pada Singa lapar yang terusik. Jeritan hatiku tak terdengar lagi. “Uss, masih terdengar, ya,... masih terdengar,.. masih terngiang di kepalaku.” Alhamdulillah kepalaku masih mendengarnya.

Kau potong kepalaku. Kau cabuti rambutnya. Kau belah dua, empat, enam,.... sampai kelipatan tak berhingga. Kepalaku kau bubur buat anjing-anjing yang kelaparan karena dari pagi sampai malam menjilati sepatumu. Tiba-tiba tanganku refleks menamparmu.

Kau tarik lenganku hingga terlepas dari pinggangku. Kreeg,.!. Lenganku terjungkir. Terjungkal-jungkal. Jatuh ke kawah. Tinggal tulang-tulangnya yang menyembul. Kau peleteri lenganku yang sebelah. Kreeg,...! Lenganku terjungkir. Terjungkal-jungkal. Jatuh ke kawah. Tinggal tulang-tulangnya yang menyembul. Kakiku refleks menendang kau.

Kau tarik kakiku. Terputus hingga di bibir kemaluanku. Kakiku yang satu refleks menendang kau. Kau tarik lagi. Dan hasilnya, kakiku terputus hingga di bibir kemaluanku.

Tinggallah payudaraku yang masih mengental. Kau menatapnya penuh nafsu, lalu kau melumatnya hingga habis. Selanjutnya vaginaku kau peleteri. Kau perkosa aku dalam puing. Kau perkosa aku dalam bangkai. Diakhir, kau hantam vaginaku dengan rudal. Meledak. Hancur.

Aku kira kamu sudah puas. Tapi, belum,.. sama sekali belum,.. senyummu jahanam. Kau tertawa. “Ini baru permulaan dari sebuah pengembaraan NAFSU....”

Begitulah sajak-sajak rintihan yang mengalun syahdu, mewakili segala duka masyarakat miskin di kota Makassar. Bergemuruh setiap saat di telinga. Memecah kesenyuian saat malam menenggelamkan bumi.
Masyarakat miskin itu bertebaran di tengah-tengah penguasa yang lalim sambil mengais-ngais tumpukan sampah. Berharap ada sesuatu yang bisa menghasilkan uang untuk membeli beras satu liter. Tak jarang mereka memasuki area kampus. Dan mahasiswa terkadang jijik dengan pekerjaan yang mereka lakoni. Terkecuali, mahasiswa yang memiliki rasa sosial yang tinggi dan terketuk pintu hatinya untuk turun ke jalan berteriak-teriak seperti setan kesurupan. Mengingat-kan para penguasa kalau di sudut-sudut istana mereka yang mewah masih banyak bertebaran orang miskin. Bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan masyarakat yang serba berkecukupan. Aku, salah satu mahasiswa yang berteriak itu.
Gelar mahasiswa yang kuperoleh adalah sebuah keber-untungan. Aku berhasil lulus pada sebuah perguruan tinggi negeri saat seleksi peneri-maan mahasiswa baru dua tahun yang lalu. Itupun harus dibayar dengan mendapatkan makian dan tendangan halilintar dari senior-senior pada sebuah acara yang mereka sebut sebagai OSPEK (Orientasi Perkenalan Kampus).
Acara ini merupakan tradisi yang sudah mendarah daging di seluruh kalangan universitas, walaupun sampai hari ini aku belum mendapatkan korelasi antara OSPEK dengan terbentuknya mahasiswa yang beradab. Apalagi hubungannya dengan terciptanya mahasiswa yang cerdas dan tercerahkan. Bahkan, aku berpikir kalau ini adalah sebuah langkah awal untuk menciptakan penindas-penindas baru. Ini salah satu upaya melestarikan peninggalan orde baru. Ini adalah sebuah kesalahan dalam memahami dan memaknai OSPEK. Atau OSPEK memang penindasan.
Aku betul-betul bingung dengan realitas yang aku lihat. Sungguh realitas kampus itu sangat berbeda jauh dengan mimpi-mimpi indah yang aku selipkan di setiap sisi hidupku saat SMA dulu. Mimpi-mimpi yang memaksaku menangis untuk yang pertama kalinya di depan orang tua agar meng-ijinkan aku menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mencoba meninggalkan kebiasaan masyarakat di kampung __mengirim anaknya ke luar negeri untuk menjadi TKI. Walaupun, mereka tahu kalau resiko yang sangat besar bisa saja menimpa anaknya __pengoroyokan, pemorkosaan, dan juga pembunuh-an. Namun, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka menganggap bahwa menjadi TKI di negeri orang-lah sebagai jalan satu-satunya yang paling tepat untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Bagaimana tidak? Kalau hasil pertanian dihargai terlalu rendah. Padahal, di tanah yang luas dan subur ini hanya hasil pertanian yang diandalkan.
Selama satu minggu aku berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuaku, bahwa pendidikan jauh lebih baik untuk aku saat ini. Dan berkat izin Tuhan, kedua orang tuaku melihat ketulusan dalam diriku untuk menuntut ilmu, maka hati orang tuaku langsung luluh saat itu. Sepertinya, mereka mulai menyadari kalau harta yang paling berharga bagi generasinya adalah ilmu. Ayah dan ibu memberikan izinnya dan merelakan aku meninggalkan kampung halaman demi mencari setitik cahaya ilmu di tengah kegelapan dunia. Untuk menukar dosa dengan amal baik. Dan untuk menukar hidup dengan cinta dan ridho Tuhan.
Satu hari sebelum keberangkatanku ke kota ini, ibu me-nyedorkan amplop yang berisi uang di dalam kamarku, ”Nak, pergunakan uang ini dengan sebaik-baiknya.”
Aku tak mampu berkata-kata, ketika ibu memberikan amplop itu padaku. Hanya linangan air mata yang bergulir di pipiku, melihat keikhlasan yang sungguh luar biasa terpancar dari raut wajahnya.
Aku sangat tahu kalau uang di dalam amplop ini adalah hasil tabungan selama beberapa tahun. Sengaja di simpan-simpan, kalau-kalau tiba-tiba yang ada terjadi dan membutuh-kan uang. Salah satunya adalah untuk persiapan jika kematian menjemput.
Saat langkah kakiku perlahan bergerak menuruni tangga rumah, aku merasakan ada tanggung jawab yang sangat besar terpikul di pundakku. Rasanya seperti sedang memikul Gu-nung Latimojong. Berat sekali. Berat,... sungguh sangat berat. Kulihat, tatapan ayah dan ibu tidak meleset sedikit pun saat aku mulai menghilang di ujung lorong rumah. Sebuah tatapan yang sangat syahdu laksana melodi indah yang menghantar-kan kecintaan dan kasih sayang yang tak terhitung. Pada tatapan itu bermuara sejuta harapan. Yaaaaah, sepertinya sejuta harapan yang bermuara dan tergambar di sana.
* * *
Hukum alam berjalan terus-menerus. Bumi terus berputar pada porosnya. Pergantian malam dan siang pun terjadi. Bulan berganti tahun dan akhirnya cukuplah aku dua tahun di sini, di tempat kostku yang kumuh. Di tengah-tengah kehidupan kampus yang aneh. Realitas-realitas kehidupan kota Makassar pun telanjang bulat di hadapanku. Telanjang bulat seperti telanjangnya pelacur yang sedang bersenggama dengan bapak-bapak yang perutnya buncit.
Khayalan masa lalu perlahan buyar oleh rintik hujan yang perlahan keras. Pagi ini, hujan mengguyur bumi persada Makassar. Pada hal, sejak bulan Februari __dua bulan__ yang lalu musim sudah berganti kemarau. Olahraga pada pagi hari yang menjadi kebiasaanku menjadi tertunda.
Duduk di teras inilah yang bisa aku kerjakan sambil me-mandangi titik-titik air yang saling berkejar-kejaran, kemudian terhempas. Menghantam bumi. Meresap ke dalam beberapa lapisan tanah sampai akhirnya berhenti di dalam perut bumi. Kemudian diserap oleh tumbuh-tumbuhan bersama dengan zat hara dalam tanah. Peristwa ini berlangsung secara terus menerus menjadi mata rantai kehidupan. Sungguh sebuah siklus hidup yang mengagumkan.
Di ujung gang, seorang perempuan sedang berlari terburu-buru sambil memayungi kepalanya dengan menggunakan tangan kirinya. Dan hasilnya, perempuan tersebut berlari seperti monyet yang diburu karena merusak tanaman pen-duduk. Tentunya perempuan itu basah, karena belum ada sejarah yang membenarkan kalau tangan itu juga berfungsi sebagai payung.
Perempuan itu bersandar pada tembok rumah tetanggaku untuk menghindari air hujan. Tepatnya, di depanku saat ini. Hanya beberapa meter jauhnya. Dadanya terlihat naik turun, napasnya tidak teratur. Dia sangat kecapaian berlari. Sesekali dia mengusap air yang mengalir di pipi mulusnya.
Sebagai laki-laki normal, tentunya aku memperhatikan perempuan tersebut dengan seksama. Dari ujung kaki sampai ujung rambut. Perempuan itu tak berani menatapku karena aku lebih dulu menatapnya tajam, seakan tatapan mataku melon-tarkan busur-busur panah yang melesat kencang, menembus bagian-bagian tubuhnya, kemudian terpaku ke tembok.
Sepertinya, perempuan itu merasakan kalau dirinya men-jadi fokus perhatian oleh sepasang bola mataku. Perlahan dia bergerak seiring dengan hujan yang meredah. Sandal jepit yang dipakainya membuat penampilannya biasa-biasa saja. Tapi, postur tubuhnya yang sangat ideal memberikan kesan kecantikan yang sungguh luar biasa. Langkahnya berdendang gemulai menapaki sepanjang gang.
Perempuan itu menghilang di ujung gang, “Pasti perem-puan itu tinggal di ujung gang ini. Karena gang ini buntu.” Pikirku.
Lalu kupandangi langit. Matahari menyeruak menyapa alam. Semburat cahaya merahnya mulai muncul. Titik air hujan di langit diterpa oleh berkas-berkas cahaya yang menim-bulkan perpaduan warna yang begitu indah, dan orang biasa menyebutnya pelangi. Aku sangat yakin kalau sekarang jutaan ribu orang yang sedang menyaksikan keindahan perpaduan tujuh warna tersebut. Kecuali orang buta, namun mereka mampu menciptakan keindahan pelangi itu sesuai dengan keinginannya masing-masing lewat daya nalar dan pikirannya.
Gumpalan awan yang kelam perlahan menjadi cerah sehingga menatapnya lama-lama akan menimbulkan silau. Burung-burung mulai bermunculan, beterbangan, meliuk-liuk menangkap serangga kecil yang bercokol dari balik daun jambu depan rumah kost. Angin sepoi pun bertiup menerpa wajahku. Aku mengambil napas panjang, “Ahh..., segar.” Ingin rasanya aku menyimpan udara pagi ini sebagai persiapan sebentar siang. Karena pada siang hari udara di Makassar begitu gerah penuh dengan polusi dan hawa panas yang teramat sangat.
Suasana masih hening. Penjual sayur dan penjual ikan belum juga kelihatan batang hidungnya. Ini pasti gara-gara hujan tadi pagi. Sifat air yang membuat orang basah adalah salah satu senjata pamungkas untuk menghentikan segala aktivitas manusia pada ruang terbuka. Bukan itu saja, air dapat juga menimbulkan malapetaka. Masih tersimpan di memori kita tentang air dengan segala dukanya. Di pulau Jawa misalnya, air yang meluap dan menggenangi beberapa kota telah menghisap puluhan nyawa, mulai nyawa manusia sampai nyawa semut yang ikut terseret oleh arus. Di Aceh, tsunami yang menelang nyawa ratusan juta orang. Hampir di seluruh pulau di tanah air terjadi tanah lonsor akibat hujan yang deras menghantam perbukitan yang sudah botak karena dicukur oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Keheningan buyar bersamaan dengan suara radio Pak Karto yang mendendangkan lagu dandut __Caca Handika. Lagu itu, setiap pagi mengiang di setiap perjalanan urat-urat saraf telingaku. Pak Karto adalah tetangga yang memiliki prinsip cinta produk dalam negeri yang tinggi. Mulai dari aliran musiknya, model rumahnya, dan sarung sutra. Singkat-nya, semua produk yang dipakainya asli buatan Indonesia. Karena terlalu kuat memegang prinsip, dia tidak memiliki barang-barang elektronik yang canggih. Katanya, “Tak ada buatan Indonesia.” Kata itulah yang selalu keluar dari mulutnya dan disaksikan oleh kumisnya yang tebalnya minta ampun.
Suara radio Pak Karto tiba-tiba tertutupi oleh suara motor yang sedang melaju dan beriringan dari ujung gang. Pengen-dara motor masing-masing berboncengan dan sebuah tas raket yang terselimpang di bahunya. Yah, begitulah Pak Sondo dan Pak Herman yang selalu mengisi hari Ahadnya. “Hari Ahad adalah moment untuk menghibur diri setelah enam hari ber-gulat dengan hiruk-pikuknya kehidupan kantoran. Dengan bermain tenis kita akan merasa sehat dan tentunya pikiran pun akan sehat.” Itulah alasan yang paling sering didengungkan saat menolak ajakan tetangganya untuk mengisi hari liburnya di pantai.
Ada juga tetanggaku yang hobinya mengunjungi tempat-tempat khusus demi mendapatkan sebuah hiburan. Tak sedikit uang melayang begitu saja dalam waktu sehari saja. Hal ini, biasa dikritik oleh ustad saat berceramah di Masjid. Begini katanya, “Kenapa mereka tidak membaca Al-Qur’an bersama dengan keluarga di rumah? Kebahagiaan dan kesenangan apa lagi yang tertinggi selain kasih sayang dari Tuhan?”
Namun, pak Karto tidak sepakat dengan pendapat ustad tersebut. Dia lalu berkata pada tetangga-tetangganya, “Mung-kin pak Ustad belum pernah merasakan kebahagiaan dikala dia duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi hangat, dan satu bungkus rokok __Surya (Gudang Garam)__ lalu mengha-yati lagu yang didendangkan oleh Caca Handika. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Berbeda ketika aku membaca Al_Qur’an, maka keresahan yang selalu muncul, karena rea-litas kehidupan sungguh jauh berbeda dengan isi Al_Qur’an.”
Anehnya, pendapat Pak Karto itu ditanggapi dengan anggukan kepala dari para tetangga yang kebetulan ikut men-dengar. Aku pun membenarkan ucapan pak Karto tersebut.
Setelah puas duduk di teras memandangi orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, aku memasuki kamar dan menguncinya dari dalam. Yaaah, sepertinya tidur adalah salah satu cara untuk mengisi liburanku, maklum ma-hasiswa kere, tapi kece lo. Lagi pula terlalu banyak hal yang lebih penting untuk dikerjakan dari pada harus keluyuran sepanjang hari tertawa lebar.
* * *
Matahari perlahan semakin tinggi. Panas yang dipan-tulkan oleh atap rumah menghantam dan membelai pelan tubuhku yang tergeletak di atas kasur. Suhu badanku perlahan berubah. Pada pori-pori kulitku keluar butir-butir air yang berbentuk kristal, bercucuran membasahi kasur. Aku mengge-liat. Gerah. Aku bangkit. Mata kukucek kemudian membela-lak memandangi sekitar. Terlihat foto Jenderal Sudirman, Albert Enstein, dan pahlawan nasional Sultan Hasanuddin sedang menatapku. Sepertinya, tatapan itu melontarkan kata-kata, “Ilmu, dan badik jangan kau selipkan di pinggang, tapi tebaskanlah pada leher-leher kolonial baru yang lahir di negeri ini. Tenggelamkan Makassar dengan darah kawan.” Begitulah aku memaknai tatapan itu. Sementara jam dinding yang diapik oleh gambar-gambar itu terus berdetak dan jarum-jarumnya menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 12.10. Aku meng-geser pantatku ke bibir ranjang dan membersihkan keringat di tubuhku.
Aku kembali duduk di teras. Di depan rumah kost, suara motor menderu-deru menghapus bersih debu-debu di jalan. Hawa panas begitu terasa menerpa wajahku. Pandanganku ke ujung gang memperhatikan seorang perempuan yang me-nyembul dari balik tembok.
Begitu perempuan itu berada pas di pembelokan aku bergumam, “Oh, rupanya perempuan yang tadi pagi.” Penam-pilannya berubah. Pakaiannya rapi dan bersih serta rambutnya tertata dengan indah. Sandal jepit tidak terpasang lagi di kakinya, tapi sepasang sepatu putih dengan garis-garis jingga. Sungguh mempesona.
Langkahnya gemulai menyusuri sepanjang gang melewati teras rumah kost di mana aku duduk saat ini. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang begitu cantik. Mungkin dia berpikir bahwa tanah yang diinjaknya setiap hari lebih pantas melihat wajahnya dari pada laki-laki sepertiku. Harum semer-bak yang bersumber dari perempuan tersebut terasa membekas di sepanjang gang. Dan akhirnya menghilang. Kembali aku bergumam, “Waow, perempuan ini sungguh sangat cantik dan mempesona.”
Pikiranku menimbulkan beberapa pertanyaan, “Siapa perempuan itu? Kenapa aku baru melihatnya? pada hal sudah dua tahun aku tinggal ngekost di rumah ini.” Pertanyaan itu melayang-layang ke awan mencari jawabannya.
Tiba-tiba alarm HP-ku berdering, membuyarkan perta-nyaanku yang sementara melayang-layang. Pertanyaanku buyar seperti balon-balon sabun yang meletus. Terlihat di layar HP-ku; pertemuan dengan seluruh peserta bakti sosial (BAKSOS) di kampus.
“Aduh gawat, aku sudah terlambat.”
Dengan serba terburu-buru aku mengambil sabun mandi __life boy, sikat gigi __formula, dan pasta __pepsodent. Kemudian berlari kecil menapaki anak tangga. Dan tiba-tiba kakiku terpeleset, BRUUUK! Dalam hitungan detik saja aku sudah mendarat dengan sukses di tanah. Pantatku yang montok menghantam tanah dengan hebatnya. Pada radius 1 meter dari patatku terjadi getaran nol koma sekian skala ritcher. Tidak terlalu parah, hanya ngilu doang. Tapi, cukup membuat aku berjalan ke kamar mandi dengan cara ngang-kang kayak monyet yang lagi main sirkus.
Perlahan pintu kamar mandi aku dorong. Air terlihat sangat jernih dan bersih di dalam bak mandi. Satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku terlepas sampai akhirnya tak sehelai benang pun yang tersisa. Aku telanjang bulat. Cepat-cepat aku guyur kepalaku dengan air dan air pun mengalir hingga bermuara di sela-sela jemari kakiku. Basah seluruh tubuhku. Busa sabun menelusuri lekuk-lekuk tubuhku, menyapu habis daki yang sejak kemarin sore menempel. Sesekali mataku terasa perih oleh busa sabun yang berhasil lolos ke dalam lensa mataku. kembali aku menyiram kepala. Aku melirik pantatku. Terlihat memar. Hitam kecokelat-cokelatan. Ini mungkin balasan atas kata-kata jorok yang pernah termuntahkan di mulutku tadi pagi.
Setelah mandi dan menggosok gigi aku kembali berlari kecil menuju kamar. Baju yang aku beli beberapa bulan yang lalu __hasil menabung__ terpasang. Warna baju itu hitam seperti menyatu dengan kulitku yang juga warna hitam. Dengan gaya yang pas-pasan aku menyusuri sepanjang jalan menuju kampus. Panas matahari yang menyengat membakar kulit. Warna hitam pun begitu agresif menampung panas dan hasilnya keringat keluar menetes seperti tetesan air aren dari tangdannya. Lama terasa kondisi itu mendera-dera. Sekitar satu jam lamanya. Rasanya napas sudah mau putus.
“Ini baru sejam, apalagi sepanjang hari berpanas-panas ria, seperti tukang becak, pemulung, anak jalanan di perempatan jalan sambil menyodorkan tangannya berharap ada yang kasihan, dan pengamen yang berjalan di sepanjang jalan menenteng gitar tuanya. Dan semua itu belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan panasnya api neraka yang bahan bakarnya adalah batu dan manusia.” Kata-kata dari temanku itu menjadi kekuatan yang menyalurkan semangat, menerobos ke dalam setiap urat-urat dan ototku saat melintasi jalan ini setiap hari.
Sepatu biru di kakiku menapaki aspal di bawah terik mata-hari. Sebuah masjid besar dan mewah selalu aku lewati jika ke kampus. Di samping masjid itu, ada beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di sana. Di tempat itulah aku sering membeli air minum jika kehausan saat kembali dari kampus. Namun, belakangan ini wajah-wajah pedagang itu terlihat lesu dan tak bergairah. Hal ini disebabkan karena beberapa hari yang lalu mereka didatangi oleh petugas SATPOL PP dan memerintahkan agar mereka segera pindah dari tempat itu. Salah satu alasannya adalah karena mengganggu tatanan kota, sesuai dengan penuturan pemerintah kota Makassar di koran ‘Fajar’, kemarin. Di sisi lain, tanah yang ditempati oleh peda-gang kaki lima ini disinyalir sebagai milik dari salah seorang pengusaha terkenal di Makassar.
Penggusuran akhir-akhir ini memang sangat sering dilaku-kan. Masih sangat jelas diingatanku beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, di sudut kota ini, tempatnya di ujung Jalan ini __Andi Pangerang Pettarani__ terdapat beberapa rumah kecil yang dindingnya terbuat dari kulit rumbia yang dianyam. Kepulan asap kecil keluar dari tengah rumah, pertanda bahwa ruang tamu dengan dapur adalah sama. Namun, pemandangan itu segera berakhir karena rumah tersebut digusur oleh seorang pengusaha kaya yang akan mendirikan hotel berbintang lima. Yaah, hotel yang sekarang berdiri kokoh di ujung jalan ini. Hari itu, beberapa orang berbadan kekar telah mengelilingi kios-kios dan rumah-rumah kecil yang berjejer di sekitar masjid dengan perlengkapan penggusuran. Pemilik rumah itu keluar dengan iringan tangis histeris sambil ngomel-ngomel dan berbagai makian yang terlontar. Penghuni rumah tetap bertahan agar rumah mereka tidak digusur.
Teriakan dari orang-orang tergusur itu sangat memilukan. Namun, para penggusur itu santai dan senyum-senyum saja. Rakyat yang miskin itu sangat bingung dan berteriak-teriak di depan wartawan yang sementara meliput berita itu, “Kami harus kemana? kami cuma rakyat miskin yang butuh keadilan dari pemerintah, kami juga butuh kehidupan seperti mereka.” Sambil menunjuki orang yang perutnya buncit karena keke-nyangan. Kemudian dia memperlihatkan perut anaknya yang buncit dan berkata, “Perutnya buncit karena busung lapar.” Sambungnya.
Teriakan itu tak dipedulikan, kekerasan pun tak terelak-kan. Aparat keamanan begitu agresif menghalau masyarakat yang mencoba untuk bertahan. Namun, ketika diperhadapkan dengan musuh rakyat yang berduit mereka hanya mengemis dan meminta belas kasihan dan hukum pun telah ternodai olehnya. Pemerintah sepertinya tidak mampu mengatasi masa-lah rakyatnya, mereka hanya mampu untuk memukuli dan memenjarakan rakyat kecil yang butuh hidup. Mereka telah buta dengan dunia kapitalis dan takut untuk miskin sehingga rakyatnya yang jadi sasaran dari ketakutan itu. Pada hal, ketakutan terbesar yang sesungguhnya adalah ketika rakyat yang jadi miskin.
Tak sedikit masyarakat miskin yang sudah menjadi kor-ban penggusuran. Mereka kehilangan tempat tinggal, tak ter-urus, berduka, tertunduk, dan terdiam meratapi nasibnya. Anak-anaknya dilepaskan ke jalan untuk mengulurkan tangan dengan pakaian compang-camping. Dengan modal alat musik tradisional dari penampang baterai, hasil karya sendiri, mereka bernyanyi dan meninggalkan bangku sekolah demi sesuap makanan.
Mereka terbelenggu bagai burung di dalam sangkar yang setiap harinya hanya bernyanyi tanpa kenal lelah. Apakah bangsa ini sedang berevolusi sehingga terjadi seleksi penguasa di antara mereka “diskriminasi” akankah teori Darwin muncul lagi setelah tumbang __orde baru bangkit lagi dengan diktator-nya. Kenapa harus mereka __orang miskin¬__ yang tertindas? Apakah kebenaran dan keadilan sekarang ini adalah uang dan jabatan dengan dasar-dasar Pancasila dan undang-undangnya? Al-Qur’an mereka jadikan sebagai senjata kedamaian dan berlindung di baliknya. Dimanakah orang-orang itu? jangan-jangan mereka ada berkeliaran di mana-mana dengan berto-peng Al-Qur’an, demokrasi, HAM, dan keadilan. Aku takut membayangkan itu, kuingin jadi detektif agar kutahu orang yang bertopeng itu dan kugantikan topeng mereka dengan topeng monyet hingga semua orang menonton dan mengasihi-nya dengan memberikan uang Rp.50,-, agar mereka paham betapa berharganya uang Rp.50,- itu bagi mereka dan sakitnya orang yang tertindas. Sehingga mereka tidak akan lagi mema-kan uang rakyat, anak yatim dan orang miskin dan merampas harta mereka. Pada malam hari mereka mencoba pejamkan mata seraya berdoa untuk bermimpi yang indah, namun selalu terjaga dengan mimpi buruk yang meraka lihat dan rasakan selama ini. Topeng kemanusiaan yang palsu itu selalu terba-yang, “Kami tertindas” Teriakan hesteris itu selalu menggema dalam kesunyian malam seiring dengan lolongan anjing. Ku-bertanya dalam hati di mana demokrasi yang diimpikan oleh nenek moyang kita? Akankah semuanya itu hanya akan men-jadi dongeng belaka atau hanya sebuah untaian kata-kata yang cantik untuk menghibur anak-anak kita yang dalam kebingungan, dalam keresahan karena matanya tak dapat terpejamkan.
Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan oleh peme-rintah sampai pada kekerasan pada mahasiswa dan menem-baki mereka. Bayangan kekerasan itu, kembali akan menjadi kenyataan seiring dengan deadline waktu yang disebutkan dalam koran Fajar yaitu: HARI RABU AKAN DIADAKAN PENGGUSURAN PEDAGANG KAKI LIMA. Penindasan terhadap rakyat kecil yang seperti inilah yang sangat tidak disenangi oleh Anton Chekov.
* * *
Sampai di tempat yang telah ditentukan. Peserta rapat sudah berkumpul di dalam gedung. Pandanganku liar menatap semua yang hadir. Pandanganku baru berhenti pada sosok perempuan yang sedang duduk di pojok kanan. Dia adalah perempuan yang tadi pagi ngos-ngosan saat menghindari air hujan. Lalu tertanam sebuah pertanyaan dalam hati, “Kenapa dia ada di sini?” Pertanyaan ini harus dijawab oleh ketua pani-tia BAKSOS setelah pertemuan ini selesai. Perempuan itu selalu melirik-lirik ke arahku, tapi aku bergaya cuek untuk menjaga wibawa. Teknik ini aku dapat dari seorang aktor terkenal Indonesia ‘Roma Irama’.
Begitu pertemuan selesai. Aku buru-buru berdiri dan du-duk di dekat ketua panitia BAKSOS. Pertanyaan tentang perempuan yang duduk di pojok kanan kembali aku tanyakan. Dia pun dengan singkat menjelaskan.
“Jadi, dia dari jurusan Biologi?” ekspresiku kaget.
“Tidak salah lagi.”
BAKSOS yang direncanakan teman-teman terbilang cu-kup besar. Pesertanya berasal dari beberapa utusan jurusan tertentu. Dan salah satu syarat untuk bisa diterima sebagai peserta adalah harus memiliki keahlian untuk dapat diapli-kasikan kepada masyarakat.
Tes bakat itu sudah berlangsung beberapa hari yang lalu. Berbagai keterampilan yang terdengar di telinga saat satu persatu peserta mengemukakan keahliannya, “Aku bisa meng-ajarkan kepada masyarakat tentang cara bertani yang baik,… kalau aku bisa membimbing anak-anak sekolah tentang cara menjaga hutan dan melestarikannya,… kalau aku bisa meng-ajari anak-anak desa mengaji,… aku bisa mengajarkan bebe-rapa keterampilan hidup, seperti memanfaatkan limbah industri rumah tangga untuk barang hias agar sampah tidak bertebaran kemana-mana,… kalau aku bisa mengajarkan anak sekolah tentang cara membuat karya tulis ilmiah dan pembi-naan KIR,… kalau aku sih sederhana, yaitu mengajarkan semua makhluk di bumi ini untuk tersenyum, supaya kalau mereka jadi pemimpin tidak merasa sombong dan selalu me-nyapa warganya,…”
Identifikasi keahlian ini sangat penting, karena bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan di lapangan didasarkan pada sumber dan tenaga ahli yang ada. Skema kegiatan kemudian diprint dan dibagikan kepada seluruh peserta untuk dipelajari.
Selembar skema kegiatan aku raih. Semua nama peserta yang tercantum dalam daftar aku perhatikan.
“Siapa nama peserta utusan dari jurusan Biologi itu?” tanyaku kepada ketua panitia.
“Monalisa. Ada apa dengan dia?”
“Tidak.” Jawabku singkat, karena aku tidak ingin keta-huan kalau perempuan itu sebenarnya membuat jiwa dan pikirku bertanya penasaran.
Pada daftar aku lihat Monalisa berada pada urutan ke 27. Pada biodatanya sangat jelas kalau dia itu tinggal satu gang denganku. Dan menariknya dia memiliki keahlian yang sama dengan aku yaitu; menulis karya ilmiah. Dapat aku pastikan kalau aku dan Monalisa akan satu kelompok pada acara BAKSOS nanti. Senyum kepuasan mengembang di bibirku yang seksi,….

Naskah cerita yang aku tulis tidak dibaca oleh Sang Editor sampai tuntas. Lalu dia menatapku pelan dan berkata, “Apa alasan kamu sehingga ingin menulis novel? Apakah kamu ingin menjadi orang yang terkenal?”
Entah kenapa, pertanyaan itu seperti belati yang langsung menikam tubuhku pada bagian tertentu. Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya. Lalu aku menjawab, “Tidak, aku menulis karena ingin menyampaikan sesuatu yang aku rasakan kepada orang lain.”
Mendengar jawaban aku yang pelan dan sedikit grogi, Sang Editor tersenyum, dan berkata, “Menulis itu, tidak seke-dar ingin menyampaikan sesuatu yang kita rasakan, tapi tulisan itu harus mampu merubah paradigma berpikir orang yang membacanya.” Kemudian Sang Editor menghisap rokok-nya, dan melanjutkan komentarnya, “Kalau kamu mengingin-kan aku mengomentari tulisan kamu, maka aku akan mengata-kan bahwa tulisan kamu itu sangat jelek dan tulisan itu sama dengan sampah yang tidak ada gunanya.”
Komentar Sang Editor tersebut menciptakan rasa kaget yang sungguh luar biasa dalam diriku. Sebuah komentar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Komentar yang sung-guh sangat pedih. Aku merasa tersambar api neraka hingga membuat tubuhku menjadi gosong. Aku merasakan ketakutan yang sungguh luar biasa. Wajahku memerah karena menahan malu. Namun, beberapa menit kemudian kudapati diriku kem-bali tenang. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyeruak dalam dimensi pikirku. Mengantarkan pada keikhlasan menerima komentar dari Sang Editor tersebut. Aku sangat yakin kalau apa yang diucapkannya adalah sesuatu yang dapat merubah cara berpikir aku tentang sastra yang sesungguhnya.
Kemudian Sang Editor melanjutkan kata-katanya, “Se-buah karya yang berupa tulisan akan mendapat sambutan yang baik, ketika tulisan itu dapat menggugah paradigma pikir pem-baca. Dan perlu juga kamu ketahui kalau sastra bukan sebuah hiburan ataukah pelampiasan saat kamu dalam keadaan yang susah. Tapi, sastra adalah kehidupan.”
Dengan sisa-sisa keberanian, aku mencoba membela diri, dan berkata, “Apakah tulisan aku tidak mampu merubah para-digma pembaca, bukankah dalam tulisan itu aku mencoba mengungkapkan realitas yang terjadi selama ini.”
Sang Editor kembali tersenyum dan berkata, “Tulisan kamu hanya menceritakan sebuah realitas yang sudah diketa-hui oleh semua orang, dan mereka sudah terbiasa dengan kondisi yang seperti itu. Tak ada enaknya cerita yang engkau persembahkan itu,.. hambar rasanya.”
Untuk selanjutnya aku hanya terdiam mendengar penu-turan demi penuturan yang disampaikan oleh Sang Editor. Berbagai ide-ide yang disampaikan padaku dan teknik menulis yang baik dan menggugah. Semuanya aku catat pada sebuah buku diary yang berwarna biru. Diary pemberian seorang kekasih tercinta.

2 komentar:

Ramli Palammai mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

siapaaaa MONALISA sebenernya???????????????
apakah dia hanya merupakan goresan tangan belaka
ataukah fakta???????????/

Posting Komentar