mistis sebuah pertemuan

Senyum manisnya. Terlihat dari jauh. Pandanganku, pikirku, dan jiwaku menembus sisi hidupnya yang silam. Menelanjanginya. Seolah aku ingin bercinta dengannya,…
Tsunami menghapus Aceh. Datang dengan kekuatan dahsyat. Membelai bayi-bayi yang me-ngeak, ayam yang ber-cicit, kerbau yang me-ngoeeee’, kuda yang me-ringkik, semua yang bersuara, dan semua yang diam. Menghasilkan puing-puing tak bernyawa. Istrinya salah satu puing itu. Anakku yang paling bungsu juga terdapat dalam daftar puing.
Anakku dan anaknya selalu bermain layangan di padang rumput. “Ayo tarik!,… lari,.. lariiiii!,…. Hehehehehe,.. hebat ya layangannya.” Begitulah keceriaan itu.
Kerbau, sapi, dan kuda riang ke sana ke mari. Bercumbu-cumbuan dengan rumput. Sesekali mereka bermain sembunyi-sembunyian. Di musim kemarau rumput bersembunyi di sekitar rimbunan pohon pisang, di bawah pohon kelapa, dan bersolek mesra di bawah hamparan pohon cokelat. Di musim hujan, kerbau dan sapi membajak. Menyapu bersih rumput-rumput yang menghijau menebarkan pesonanya. “Ngoeeeee’!, Ngoeeee’!” dan Wussssst, cambuk menghantam punggungnya. Kembali ber-ngoeeeee’!.
Salah satu kebunnya yang luas menjadi markas anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Tepatnya namanya, kampus. Di tempat itulah mereka belajar.
“Strategi yang kita bangun harus tepat, jangan melakukan kesalahan sedikit pun.” Begitulah instruksi pengajar Ilmu politik di sana. Budaya juga dipelajari. Hukum, apa lagi. Dan juga reproduksi. Untuk ilmu yang satu sangat sukses karena kenyataannya banyak gaya seksual baru yang muncul di antara semak-semak. Membungkam gadis-gadis desa yang lewat di jalan-jalan sepi ketika dari kebun. Walaupun mereka sempat berteriak, “Tolong jangan,… jangan,… Kasihanilah aku! Aku masih perawan.” Tak ada kompromi. Sperma terpercik menghujani pohon-pohon ganja yang begitu ranum dan memabukkan.
* * *
Lhokseumawe. Nangroe Aceh Darussalam. Serambi Mekah.
Soeharto. Angin Orde Baru berhembus begitu kencangnya. Semua yang ada porak-poranda. Hanya cendana yang berdiri kokoh, kuat, dan tangguh. “Jangan ragukan tiga pilar ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Semuanya akan baik-baik saja.” Tuturnya.
Hasan Tiro, 4 Desember 1976. Siuman dari pengaruh mantra-mantra sebuah rezim. Dia mulai menangcapkan duri-duri bunga mawar pada serambi mekah. Menyuntikkan sperma perlawanan pada setiap persetubuhan tersembunyi di dalam hutan. Komplotannya tumbuh subur. Ganja, pun demikian. Persetubuhan melahirkan pemberlakuan darurat militer TNI sepenuhnya. Maka bermain kucing-kucinganlah Gerakan DI/TII Aceh. Syariat Islam. GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Tahun 1989. Robert melumpuhkan TNI. ABRI masuk desa. Daerah Operasi Militer. Semuanya mengendap-engdap. Menyelinap dalam gelap. Begitu tenang mengalir menghiasi tanah rencong.
Percaturan hidup begitu rumit. Kuda berlawanan dengan Mentri. Pion-pion terpental. Jatuh. Terlahir, Gerilya. Daud Beureuch. Perlawanan kepada Soeharto. Dukungan internasional. Pasokan senjata. Tahun 1972. Kisah romantis yang terjadi Di Gunung Halimun tahun 1975. Langit biru dan ungu bercampur, menggairahkan birahi. Terlahir bayi prematur, wali Negara Aceh. Lhokseumawe. Nangroe Aceh Darussalam. Serambi Mekah.
Ternyata tak satu pun ciptaan yang abadi. Semuanya akan habis dimakan zaman. Tiga pilar Orde Baru tak kuat lagi menahan beban dosa Cendana. 21 Mei 1998. Soeharto runtuh. Wajahnya yang garang tertunduk malu. “Aku kan sudah bilang, miris rasanya aku melihat bangsa ini.” Angin Orde Baru perlahan redup, sampai akhirnya bersembunyi karena malu. Sangat malu. Lalu mereka memakai topeng HAM, Demokrasi, dan Agama setiap kali muncul di muka umum.
Ombak bergemuruh. Mencumbui bibir pantai. Melumat pasir hitam dan putih. Pertanda reformasi dimulai. Bj. Habibi. Sulawesi Selatan. Milad-nya GAM tanggal 5 Desember 1999. Tanggal 7 Agustus 1998 mencabut DOM. Abolisi tawanan GAM. PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa). Operasi satgas wibawa 99. Penyerangan markas KNPI, 4 tewas, 23 luka. Tragedi Kreug Geukeuh, 31 warga sipil tewas. Pembantaian di pondok pesantren Tengku Bantaqiah, Beutong Aceh, 27 Juli 1999. Ulama dan Santri tewas.
“Kenapa bisa terjadi yang seperti ini? Bukankah telah diadakan perdamaian? Kenapa ini terjadi?”
“Strategi politik berstandar ganda.” Jawabnya.
SIRA (Sentral Informasi Rakyat Aceh), 8 November 1999. SU-MPR (Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum). “…. adalah tetes air kesejukan. Menyapu dahaga akan kesejahteraan. Pencuci darah perawan, anak kecil, dan orang tua kita.” Katanya orang yang memakai jas almamater itu.
Dimensi ingatku terus berpacu. Menelanjangi sosok tua yang berada tak jauh di hadapanku. Terukirlah,.. . KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Perdamaian oleh 16 negara. (HDC) Henry Dunant Centre. Jenewa. Swiss. Penandatanganan Joint Understanding. Jeda kemanusiaan (Humanitarian pause). Forum Bersama (Joint Forum). Wajah-wajah yang tak asing menari-nari di hadapanku, Tengku Nashiruddin bin Ahmed, Tengku Amni bin Ahmad Marzuki, Amdi Hamdani, Teuku Kamaruzzaman, Nashrullah Dahlawi, dan Tengku Muhammad.
Tak ada yang beres. Maka diperhadapkan serambi mekah dengan seorang perempuan yang penuh dengan gairah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semuanya sentosa. Megawati Soekarno Putri. Otonomi khusus. Tim monitoring. Steering Committee for Democration Consultations. Preparatory Conference on peace and reconstruction in Aceh di Tokyo. Amerika Serikat. Jepang. Uni Eropa. Bank Dunia. Meliuk-meliuk. Bermanufer. Dan mendarat dengan sukses.
Ditetapkanlah angka 9 September 2002 sebagai sesuatu yang mistis. CoHA (Cessation of Hostilities Agreement). “Tapi, ingatkah kalian di Kawasan rawa-rawa Cot Trieng, Aceh Timur?” Rakyat menggugat.
25 April 2003. Mantan Menlu, Ali Alatas. Ultimatum. 12 Mei 2003. 50.000 personil melawan 5.000 personil. Isak Dawud, Tengku Jeunib, dan Muzakkir Manaf. RRI, Elshinta, Sonora, Trijaya, dan Jakarta News FM.
Campur tangan asing. Organisasi asing bermunculan. Semuanya kabur. Aku dan dia jadi bingung dengan hidup dan kehidupan. Terkadang A, terkadang B. Banyak yang meninggal. Janda-janda berhamburan. Anak-anak meringis. Darah berceceran di tempat-tempat sunyi.
Pagi. Ke kebun. Sore hari, kami baru pulang. Disambut oleh Aceng, anak keduaku. Setelah menyapa Aceng barulah dia melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Istrinya sudah menungguinya di teras rumah. Anak perempuan semata wayang yang dimilikinya sedang memasak di dapur.
Tetangganya, pernah ditangkap dan di penjara. Tentara mengira dia anggota GAM. Aku dan dia bersaksi, “Dia bukan anggota GAM.” Senjata tajam yang biasa tertenteng saat ke kebun juga disita. Sebilah rencong peninggalan nenek, aku sembunyi. Sekarang terselip di pinggang menemaniku.
Subuh-subuh, istriku dan istrinya ke pasar. Menjual hasil kebun. Anak-anak menyipitkan matanya di waktu subuh. Membuang tahi mata yang membentuk bukit kecil. Pasar terbakar. Bom yang meledak di tengah pasar, penyebabnya. Tak ada yang terjual. Tiga orang tentara meninggal. Pertempuran dengan anggota GAM di depan rumah berlangsung dengan predikat sangat sukses.
Sekolah dibakar. Masjid, lebih-lebih. Hangus. Abu. Semua siswa dan Santri menyelamatkan diri. Tiga orang yang bersembunyi di rumahku. Dua orang berjilbab. Serpihan benda meledak membekas di kepala yang cowok.
Ikan yang segar. Laut yang bersih. Pemandangan yang asri. Udara sejuk. Tanah yang subur. Suasana menyenangkan. Sendalku hilang di masjid. Tahi sapi bersembunyi di rerumputan halus. “Dasar,.. kakiku tak bermata.” Aku menggerutu saat tahi sapi terinjak. Hehehehehe. Semuanya hilang. Beradu nyawa dengan sesama. Jeruk makan jeruk, tepatnya. Tsunami menenggelamkan kebahagiaan. Menjadi maut yang sungguh luar biasa. Hanya dia yang tersisa.
Yaaah, hanya dia yang tersisa. Sabetan senjata tajam pada kakinya masih menganga. Bercerita banyak hal tentang masa lalu yang suram. Luka-luka pada sekujur tubuhnya bernyanyi riang dalam setiap kisah hidup yang terlewati. Lukaku dan lukanya kembali bernostalgia lewat pertemuan ini. Tapi, pada sorot matanya, dan lubuk hatinya yang paling dalam masih ada kegelapan yang luar biasa. Karena masa depan sungguh jauh lebih menyakitkan. Sungguh teramat sangat.
Begitu kepalanya menyembul di pintu. Kembali dia tersenyum manis. Lalu aku menyambutnya. Sebuah senyum manis dariku menguntai kata, “Ohhh,..! gimana kabarmu? Silahkan masuk! Lama ya, baru kita ketemu.”
* * *
Usai pertemuan. Temanku berbalik hendak kembali ke kampung halamannya. Aceh. Aku menatap punggungnya. Lalu aku berkata dalam hati, “Jika kita masih dipertemukan oleh Tuhan pada waktu yang lain, maka aku akan mengingat saat-saat yang baru saja kita lewati. Minum kopi bersama, bercanda, bertukar pengalaman, dan keinginanmu untuk menikah lagi.” Lalu aku tersenyum dan bergumam, “Sungguh,… pertemuan itu penuh dengan mistis. Mengingatkan semua kisah yang pernah terlewati bersama.”
* * *

0 komentar:

Posting Komentar