gadis pantai

Setelah melewati proses perjalanan spiritual. Aku berpisah dengan teman-teman. Sandal jepit biru terpasang. Aku melanjutkan perjalanan dengan kekuatan yang tersisa. Di samping masjid, aku membeli air minum, karena merasa sangat kehausan melakukan perjalanan panjang.
Pedagang kaki lima di sekitar masjid ini tidak lama lagi akan hilang, karena mereka akan digusur. Salah satu alasannya adalah karena mengganggu tatanan kota, sesuai dengan penuturan pemerintah kota pada sebuah surat kabar kemarin.
Masih sangat jelas diingatanku beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, di ujung jalan ini terdapat beberapa rumah kecil yang dindingnya terbuat dari kulit rumbia yang dianyam. Kepulan asap kecil keluar dari bagian tengah rumah, pertanda bahwa ruang tamu dengan dapur adalah sama. Namun, pemandangan itu berakhir karena rumah tersebut digusur oleh seorang pengusaha kaya yang akan mendirikan hotel berbintang lima. Hotel yang sekarang berdiri dengan gagahnya di ujung sana. Hari itu, beberapa orang berbadan kekar telah mengelilingi kios-kios dan rumah-rumah kecil yang berjejer dengan perlengkapan penggusuran. Pemilik rumah itu keluar dengan tangis histeris sambil ngomel-ngomel dan berbagai makian yang terlontar. Penghuni rumah tetap bertahan agar rumah mereka tidak digusur. Di seberang jalan, beberapa orang berpakaian Dinas dengan tulisan PEMDA dan baju warna cokelat dan gagah lengkap dengan senjata di tangannya.
Teriakan dari orang-orang tergusur itu sangat memilukan. Namun, para penggusur itu santai dan senyum-senyum saja. Rakyat yang miskin itu sangat bingung dan berteriak, “Kami harus kemana? kami cuma rakyat miskin yang butuh keadilan dari pemerintah, kami juga butuh kehidupan seperti mereka.” sambil menunjuki orang yang perutnya buncit karena kekenyangan. Kemudian menunjuk perut anaknya yang buncit dan berkata, “Perut kami buncit karena busung lapar.”
Teriakan itu tak dipedulikan, kekerasan pun tak terelakkan. Aparat keamanan begitu agresif menghalau rakyat miskin. Namun, ketika diperhadapkan dengan musuh rakyat yang berduit mereka hanya mengemis dan meminta belas kasihan dan hukum pun telah ternodai olehnya.
Uhhh,.. Akhir tahun ini, penggusuran terjadi di mana-mana. Tak sedikit masyarakat miskin yang sudah menjadi korban. Mereka kehilangan tempat tinggal, tak terurus, berduka, terluka, tertunduk, terdiam meratapi nasibnya. Anak-anaknya dilepaskan ke jalan untuk mengulurkan tangan dengan pakaian compang-camping. Dengan modal alat musik tradisional dari penampang baterai, hasil karya sendiri, mereka bernyanyi dan meninggalkan bangku sekolah demi sesuap makanan.
Kenapa harus mereka __orang miskin¬__ yang tertindas? Apakah kebenaran dan keadilan sekarang ini adalah uang dan jabatan dengan dasar-dasar Pancasila dan undang-undangnya? Al-Qur’an mereka jadikan sebagai senjata kedamaian dan berlindung dibaliknya. Mereka berkeliaran di mana-mana dengan bertopeng Al-Qur’an, demokrasi, HAM, dan keadilan. Aku ingin jadi detektif saja agar kutahu orang yang bertopeng itu dan kugantikan topeng mereka dengan topeng monyet hingga semua orang menonton dan mengasihinya dengan memberikan uang Rp.50,-, agar mereka paham betapa berharganya uang Rp.50,- itu bagi mereka dan sakitnya orang yang tertindas. Sehingga mereka tidak akan lagi memakan uang rakyat, anak yatim dan orang miskin.
Pada malam hari mereka mencoba pejamkan mata seraya berdoa untuk bermimpi yang indah, namun selalu terjaga dengan mimpi buruk yang mereka lihat dan rasakan selama ini. Topeng kemanusiaan yang palsu itu selalu terbayang. Dongeng dan untaian kata-kata yang cantik yang biasa diperdengarkan tak mampu menghibur anak-anak yang dalam kebingungan, dalam keresahan karena matanya tak dapat terpejamkan.
Bayangan kekerasan itu, kembali akan menjadi kenyataan seiring dengan deadline waktu yang disebutkan dalam surat kabar tersebut.
* * *
Sudah Isya aku sampai di pantai. Setiap malam, pantai ini dipenuhi dengan kerumunan orang yang ingin bersantai. Apalagi malam ini, muda-mudi menyeruak seperti kerumunan semut yang rumahnya lagi kena gusur. Mereka rupanya ingin menikmati indahnya kembang api dalam rangka penyambutan pergantian tahun. Penyambutan yang saya rasa tidak ada gunanya, hanya untuk bahan sosialisasi dan pemantapan strategi kapitalis.
Semilir angin bertiup dari laut, membuat tubuh sedikit hangat, aku terus berjalan di sepanjang pesisir pantai dengan harapan mendapatkan inspirasi untuk ditulis. Buku diary yang setia menemaniku masih tertutup rapat. Aku mengambil tempat duduk di sudut tanggul sambil memperhatikan semua peristiwa yang terjadi malam itu. Di kejauhan, kulihat sepasang muda-mudi sedang duduk berduaan. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi muncul ide jahat, “Waow, kebetulan nih, aku sekarang sedang tidak punya inspirasi.” Diary yang tertutup aku buka. Aku mencoba ilustrasikan semua kejadian itu.
Segala kemesraan dan tingkah laku pasangan itu aku lihat dan amati dengan seksama. Tak ingin satu adegan pun yang hilang. Aku sangat ingin mengenal mukanya. Perlahan aku mendekat. Tapi, beberapa saat kemudian orang itu beranjak meninggalkan tempat itu menuju ketempat lain. Aku mengikutinya. Di tempat yang baru itu (di belakang tembok tua) aku menyaksikan pertarungan antara setan dan malaikat namun malaikat kalah, setan menang dan mereka pun saling merangkul. Terlihat sangat jelas wajah perempuan itu olehku, wajah yang manis ayu, tampak berseri, dan merekah. Kemolekan tubuh itu mengkilat terkena oleh sinar rembulan. Sekejap saja laki-laki itu kemudian melumat santapan yang ada di depannya dengan nafsu dan lahap. Perempuan itu hanya mampu untuk mendesah membiarkan dirinya terkapar kedalam kenistaan dan kehinaan.
Selain aku, peristiwa itu pun disaksikan oleh gemerlapnya bintang di langit yang bertaburan seakan menangis melihat pergulatan pasangan itu. Deburan ombak yang mengisyaratkan malapetaka akan datang dan lolongan anjing malam yang menandakan raja setan lagi berpesta di langit. Kasihan, . . . .! dia adalah salah satu dari jutaan korban keganasan oleh budaya yang telah terhegemoni dengan budaya barat. Semurah itukah harga diri di perjual belikan hanya karena kepuasan seksual semata ataukah sesuap nasi. Remaja yang didambakan oleh jutaan rakyat Indonesia telah hancur oleh sistem yang ditanamkan oleh orang-orang yang menjadikan uang sebagai bentuk persaksiannya.
Perlahan mereka bertolak dari tempat itu setelah terhempas dari kenikmatan sesaat. Mereka kemudian berbaur dengan teman-temannya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidakkah hati kecil ini menangis setelah peristiwa itu, ataukah memang hati kecil itu telah mati. Wajah itu kemudian telah hilang dari pandanganku seiring dengan berlalunya acara kembang api itu.
* * *
Keesokan harinya, aktivitas yang biasa kulakukan sebagai mahasiswa berlanjut. Aku duduk bersama dengan teman-teman sambil mengobrol tentang ujian, tiba-tiba aku dikagetkan oleh sosok cewek yang sepertinya tidak asing bagiku. Perempuan itu lewat di depanku. Kutatap wajah perempuan itu dalam-dalam dan mencoba untuk mengingat dimana aku pernah melihat dia. Perempuan itu menoleh kepadaku sambil tersenyum. Oh,…. Perempuan itu, ya tidak salah lagi perempuan itu?
Diam-diam aku mengikuti kehidupannya. Mencoba mengetahui segalanya. Kenapa dia seperti itu. Dan hasil penulusuran itulah aku tahu kalau orang miskin korban penggusuran butuh juga pendidikan. Walaupun harus membayar biaya pendidikan dengan menjual harga dirinya.

0 komentar:

Posting Komentar